CINTA?
KURASA TAK
SESULIT ITU ...
By: Shinta Fury Afrilia
Suasana
masih pagi ketika aku berdiri di atas balkon. Langit begitu cerah~berwarna biru
sepanjang cakrawala~ tanpa diselimuti awan sedikit pun. Matahari masih
menyembul malu-malu di ufuk timur, namun derum kendaraan bermotor telah
terdengar berlalu-lalang di jalan raya sana.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semua terlihat biasa saja, namun ada sesuatu yang menarik perhatianku. Seorang pria, kira-kira seusiaku, atau mungkin saja setahun atau dua tahun di atasku, sedang menggerak-gerakkan tubuhnya di halaman depan rumahnya. Kaos tanpa lengan berwarna merah maroon dengan celana jeans selutut tampak kontras pada kulitnya yang putih. Lengannya kekar, mungkin karena seringnya ia berolahraga, pikirku.
Entah apa yang merasukiku. Tiba-tiba saja aku ingin segera turun dari balkon dan rasanya tak ingin melewatkan Minggu pagi yang cerah ini begitu saja. Jujur, aku tak pernah sesemangat ini sebelumnya. Bahkan aku hampir tak pernah olahraga pagi. Namun kurasa, hari ini aku ingin.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semua terlihat biasa saja, namun ada sesuatu yang menarik perhatianku. Seorang pria, kira-kira seusiaku, atau mungkin saja setahun atau dua tahun di atasku, sedang menggerak-gerakkan tubuhnya di halaman depan rumahnya. Kaos tanpa lengan berwarna merah maroon dengan celana jeans selutut tampak kontras pada kulitnya yang putih. Lengannya kekar, mungkin karena seringnya ia berolahraga, pikirku.
Entah apa yang merasukiku. Tiba-tiba saja aku ingin segera turun dari balkon dan rasanya tak ingin melewatkan Minggu pagi yang cerah ini begitu saja. Jujur, aku tak pernah sesemangat ini sebelumnya. Bahkan aku hampir tak pernah olahraga pagi. Namun kurasa, hari ini aku ingin.
Tak
butuh waktu lama bagiku untuk segera turun. Hanya tinggal mengenakan jaket
putih tipis dengan ritsleting depan dan sepasang sepatu olahraga, karena aku telah
cuci muka sebelumnya~sebelum berdiri di atas balkon.
"Tak biasanya kau mau keluar sepagi ini," komentar Austin, kakak laki-lakiku satu-satunya, saat ia menemukanku sedang bergerak menuju gerbang depan. "Sesuatu sedang merasukimu?"
"Oh, diamlah, Kak," sergahku. Aku memang tak diizinkan memanggil namanya saat ia bertatap muka denganku. "Kalau kau ingin ikut bersamaku, cepatlah bersiap atau aku akan segera meninggalkanmu."
"Tidak, terima kasih," sahutnya cepat. "Lebih baik kugunakan Minggu pagi ini untuk menyelam dengan teman-temanku."
"Teman-teman konyolmu, lebih tepatnya," ralatku. Aku tak asal saja memberikan predikat 'konyol' atas teman-teman Austin. Itu berdasarkan fakta. Mereka senang sekali membuat kekonyolan. Seperti yang terjadi awal tahun lalu. Mereka nekad mendaki gunung berapi hanya untuk melihat matahari terbit di awal tahun baru.
"Tak biasanya kau mau keluar sepagi ini," komentar Austin, kakak laki-lakiku satu-satunya, saat ia menemukanku sedang bergerak menuju gerbang depan. "Sesuatu sedang merasukimu?"
"Oh, diamlah, Kak," sergahku. Aku memang tak diizinkan memanggil namanya saat ia bertatap muka denganku. "Kalau kau ingin ikut bersamaku, cepatlah bersiap atau aku akan segera meninggalkanmu."
"Tidak, terima kasih," sahutnya cepat. "Lebih baik kugunakan Minggu pagi ini untuk menyelam dengan teman-temanku."
"Teman-teman konyolmu, lebih tepatnya," ralatku. Aku tak asal saja memberikan predikat 'konyol' atas teman-teman Austin. Itu berdasarkan fakta. Mereka senang sekali membuat kekonyolan. Seperti yang terjadi awal tahun lalu. Mereka nekad mendaki gunung berapi hanya untuk melihat matahari terbit di awal tahun baru.
Mereka
menyebut diri mereka petualang, tapi aku lebih suka menyebut mereka konyol.
"Baiklah. Sampai jumpa, Kak," pamitku. "Kuharap kau tak menempatkan dirimu pada kekonyolan yang akan membahayakan nyawamu lagi."
Ia meringis.
Mungkin teringat pada 'petualangan'nya yang terakhir ~ tergelincir saat melakukan pendakian tebing hingga harus dirawat di ICU selama dua bulan. Dan aku berani bersumpah, itu tidak membuatnya jera. Tidak sama sekali.
"Jangan khawatir, Adik Manis," sahut Austin. "Akan kuingat itu."
Aku segera menutup gerbang dari luar dan berhambur ke trotoar. Berlari-lari kecil melalui beberapa gerbang tinggi di sisi jalan. Tak jarang aku hampir terjungkal karena terlalu serius memandang ke kanan-kiri, sehingga tak memerhatikan jalan. Hingga akhirnya aku tiba pada sebuah alun-alun yang terletak di tengah kota.
Bahagia langsung menyeruak keluar rasanya ketika aku mendapati sebuah bangku kosong di ujung taman. Rasanya seolah menemukan oase di tengah Sahara.
"Baiklah. Sampai jumpa, Kak," pamitku. "Kuharap kau tak menempatkan dirimu pada kekonyolan yang akan membahayakan nyawamu lagi."
Ia meringis.
Mungkin teringat pada 'petualangan'nya yang terakhir ~ tergelincir saat melakukan pendakian tebing hingga harus dirawat di ICU selama dua bulan. Dan aku berani bersumpah, itu tidak membuatnya jera. Tidak sama sekali.
"Jangan khawatir, Adik Manis," sahut Austin. "Akan kuingat itu."
Aku segera menutup gerbang dari luar dan berhambur ke trotoar. Berlari-lari kecil melalui beberapa gerbang tinggi di sisi jalan. Tak jarang aku hampir terjungkal karena terlalu serius memandang ke kanan-kiri, sehingga tak memerhatikan jalan. Hingga akhirnya aku tiba pada sebuah alun-alun yang terletak di tengah kota.
Bahagia langsung menyeruak keluar rasanya ketika aku mendapati sebuah bangku kosong di ujung taman. Rasanya seolah menemukan oase di tengah Sahara.
Dengan
tenaga yang tersisa, aku berusaha mencapainya. Aku berjalan sekarang, sudah tak
kuat berlari. Keringat menetes di sekujur tubuh, napas Senin Kamis, dan tubuhku
gemetar. Aku baru ingat kalau pagi ini ternyata aku belum meminum susu cokelat
favoritku. Ah, hal ini membuatku sedikit kesal.
Senang rasanya bisa duduk dengan berselonjor kaki. Sepoi angin membelai kulitku pelan. Sedikit mengurangi rasa letihku.
"Ternyata kau juga berada di sini, Tetangga," sapa seseorang. Seorang pria yang ~ aku langsung merasa salah tingkah ketika menyadari sosok itu ~ tadi pagi kujumpai di halaman rumahnya! "Boleh aku duduk?"
"Ini negara bebas," ujarku, berusaha sebisa mungkin menata emosiku yang bisa meledak kapan saja.
"Thanks," ucapnya. "Tak kusangka kau berlari secepat itu."
Pernyataannya membuatku melongo.
"Memangnya seberapa cepat?" Ada nada terkejut dalam suaraku. Aku merasakannya. Aku sadar, aku tak 'secepat' itu.
"Secepat ... siput berlari?" sahutnya. "Aku tiba di sini sepuluh menit sebelum kau datang."
Senang rasanya bisa duduk dengan berselonjor kaki. Sepoi angin membelai kulitku pelan. Sedikit mengurangi rasa letihku.
"Ternyata kau juga berada di sini, Tetangga," sapa seseorang. Seorang pria yang ~ aku langsung merasa salah tingkah ketika menyadari sosok itu ~ tadi pagi kujumpai di halaman rumahnya! "Boleh aku duduk?"
"Ini negara bebas," ujarku, berusaha sebisa mungkin menata emosiku yang bisa meledak kapan saja.
"Thanks," ucapnya. "Tak kusangka kau berlari secepat itu."
Pernyataannya membuatku melongo.
"Memangnya seberapa cepat?" Ada nada terkejut dalam suaraku. Aku merasakannya. Aku sadar, aku tak 'secepat' itu.
"Secepat ... siput berlari?" sahutnya. "Aku tiba di sini sepuluh menit sebelum kau datang."
Aku
mengernyitkan dahi. Ingin marah, namun tak ada alasan untuk itu karena
pernyataannya memang benar. Aku memang tak mahir dalam berlari. Maksudku, semua
jenis olahraga. Mereka adalah mimpi buruk bagiku.
"Oh, perhatian sekali." Akhirnya hanya itu yang bisa meluncur dari bibirku. Aku tak ingin memancing pertengkaran dengan ~ well, sosok yang sebenarnya sangat kukagumi ini semenjak ia pindah ke daerah perumahan yang sama denganku seminggu yang lalu.
"Namaku Jared, by the way," ucapnya santai seolah berbicara dengan angin. "Jared Walter. Kau?"
"Classita," sahutku santai pula. "Classita Megan. Panggil Sita saja."
"Aku lebih suka memanggilmu 'Cla'. Boleh, kan?" Ia memandangku saat aku tersentak karena ia mengatakan hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Tanpa sengaja mata biru safirnya menembus duniaku. Seketika itu pula aku merasa ... entahlah. Ada sesuatu yang menyengatku. Suatu aliran listrik yang sangat kuat. Entah berapa Volt.
"Ini negara bebas, kan?" sambungnya, karena aku tak kunjung memberinya jawaban.
Cepat-cepat kualihkan pandanganku pada sesuatu yang berada di tengah alun-alun. Sebuah air mancur di tengah kolam penuh ikan hias warna-warni. Kemudian ke arah lain, tempat beberapa anak sedang berlarian ~ berkejaran ~ dengan sangat antusiasnya. Ke mana saja, asal tidak pada dirinya lagi.
"Kau diam, berarti kau setuju," simpulnya cepat. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia bisa berkesimpulan seperti itu. Seharusnya aku merasa terganggu atas celotehannya yang sok kenal itu denganku, namun entahlah. Kurasa, aku tak merasa begitu terganggu seperti yang seharusnya.
"Apakah kau sudah lama berdiam di tempat ini?" tanyanya. Aku tak begitu memerhatikan bagaimana raut mukanya. Hanya saja, aku seperti mendengar senyum di dalamnya.
"Tujuh belas tahun," jawabku. "Kurasa bukan waktu yang singkat."
"Kalau begitu, kemungkinan kau tahu siapa gadis yang sedang duduk seorang diri di tepian kolam itu?"
Sontak aku terhenyak ketika ia menanyakan gadis lain padaku. Aku tak tahu mengapa aku merasa demikian. Padahal baru sekali ini kami berdua baru bertatap muka.
Meskipun begitu, aku penasaran. Kuikuti ke mana arah pandangannya tertuju. Sebuah kolam dengan air mancur yang kupandangi beberapa detik yang lalu dan ~ seorang gadis berambut hitam panjang lurus diikat kuncir kuda yang duduk termangu menatap ikan di dalam kolam. Kaos kuning dan celana jeans ketat tiga perempat yang ia kenakan melekat secara sempurna. Kulitnya yang cerah semakin bersinar tertimpa sinar mentari pagi.
Bagaimana mungkin aku tak mengenalinya?
"Itu Clara," jawabku. "Ia ... ia sahabatku."
"Kau serius?"
Keantusiasannya tampak begitu nyata. Entah kenapa aku tak begitu senang mendengarkannya. Kali ini, ia benar-benar menggangguku.
"Ceritakan padaku semua kisahnya. Kumohon ... " lanjutnya.
Aku menaikkan sebelah alisku tanpa sadar.
"Aku tak mungkin membicarakan sahabatku dengan orang asing," jawabku yang sedetik kemudian diikuti dengan gerakanku ~ berdiri, hendak beranjak dari tempat itu.
"Oh, perhatian sekali." Akhirnya hanya itu yang bisa meluncur dari bibirku. Aku tak ingin memancing pertengkaran dengan ~ well, sosok yang sebenarnya sangat kukagumi ini semenjak ia pindah ke daerah perumahan yang sama denganku seminggu yang lalu.
"Namaku Jared, by the way," ucapnya santai seolah berbicara dengan angin. "Jared Walter. Kau?"
"Classita," sahutku santai pula. "Classita Megan. Panggil Sita saja."
"Aku lebih suka memanggilmu 'Cla'. Boleh, kan?" Ia memandangku saat aku tersentak karena ia mengatakan hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Tanpa sengaja mata biru safirnya menembus duniaku. Seketika itu pula aku merasa ... entahlah. Ada sesuatu yang menyengatku. Suatu aliran listrik yang sangat kuat. Entah berapa Volt.
"Ini negara bebas, kan?" sambungnya, karena aku tak kunjung memberinya jawaban.
Cepat-cepat kualihkan pandanganku pada sesuatu yang berada di tengah alun-alun. Sebuah air mancur di tengah kolam penuh ikan hias warna-warni. Kemudian ke arah lain, tempat beberapa anak sedang berlarian ~ berkejaran ~ dengan sangat antusiasnya. Ke mana saja, asal tidak pada dirinya lagi.
"Kau diam, berarti kau setuju," simpulnya cepat. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia bisa berkesimpulan seperti itu. Seharusnya aku merasa terganggu atas celotehannya yang sok kenal itu denganku, namun entahlah. Kurasa, aku tak merasa begitu terganggu seperti yang seharusnya.
"Apakah kau sudah lama berdiam di tempat ini?" tanyanya. Aku tak begitu memerhatikan bagaimana raut mukanya. Hanya saja, aku seperti mendengar senyum di dalamnya.
"Tujuh belas tahun," jawabku. "Kurasa bukan waktu yang singkat."
"Kalau begitu, kemungkinan kau tahu siapa gadis yang sedang duduk seorang diri di tepian kolam itu?"
Sontak aku terhenyak ketika ia menanyakan gadis lain padaku. Aku tak tahu mengapa aku merasa demikian. Padahal baru sekali ini kami berdua baru bertatap muka.
Meskipun begitu, aku penasaran. Kuikuti ke mana arah pandangannya tertuju. Sebuah kolam dengan air mancur yang kupandangi beberapa detik yang lalu dan ~ seorang gadis berambut hitam panjang lurus diikat kuncir kuda yang duduk termangu menatap ikan di dalam kolam. Kaos kuning dan celana jeans ketat tiga perempat yang ia kenakan melekat secara sempurna. Kulitnya yang cerah semakin bersinar tertimpa sinar mentari pagi.
Bagaimana mungkin aku tak mengenalinya?
"Itu Clara," jawabku. "Ia ... ia sahabatku."
"Kau serius?"
Keantusiasannya tampak begitu nyata. Entah kenapa aku tak begitu senang mendengarkannya. Kali ini, ia benar-benar menggangguku.
"Ceritakan padaku semua kisahnya. Kumohon ... " lanjutnya.
Aku menaikkan sebelah alisku tanpa sadar.
"Aku tak mungkin membicarakan sahabatku dengan orang asing," jawabku yang sedetik kemudian diikuti dengan gerakanku ~ berdiri, hendak beranjak dari tempat itu.
"Hei, kau mau
ke mana?" tanyanya. "Aku bukan orang asing, Cla! Sekarang aku
tetanggamu!" Ia berteriak karena jarakku dan jaraknya semakin menjauh.
Lebih tepatnya, aku yang menjauhinya, menuju tempat Clara.
"Clara," panggilku saat aku telah berada di sampingnya. "Kau sendirian? Mana Thomas?"
"Lebih baik jangan bicarakan dia dulu," pinta Clara muram. "Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk itu."
"Kalian bertengkar?"
"Apakah aku harus memberitahumu lebih dari sekali?" Ia tampak gusar. Ups, kurasa aku baru saja melakukan kekeliruan.
"Oh, sori," ucapku.
"Cla!"
Terdengar seseorang memanggil dari arah belakang kami. Seketika kami berdua menoleh untuk mengetahui siapa si empunya suara. Ternyata masih pria itu. Pria berkaos tanpa lengan warna merah maroon dengan celana jeans selutut model skaters itu. Ia melambai. Kukira ia belum genap lima menit yang lalu menyebutkan namanya, tapi aku sudah lupa.
"Dia memanggilku, atau memanggilmu?" tanya Clara.
"Entahlah," jawabku melengos. "Kurasa dia agak gila. Dia bertanya tentangmu padaku."
"Apakah menurutmu ia tertarik padaku?" tanya Clara lagi. Pandangannya masih terfokus ke arah pria itu. Tersenyum.
Sekali lagi, keadaan ini sangat menggangguku.
"Dengan penampilanmu yang seeksotis itu, kecantikanmu yang sempurna itu, dan ... ya, kurasa ia tertarik padamu," akuku enggan.
"Lalu, kau menceritakannya?"
"Aku tidak akan memberikan informasi tentang sahabatku pada orang asing, kan?" sahutku.
"Oh, well, kau benar," jawabnya akhirnya. Ia mulai mengalihkan pandangannya. Tapi aku bersumpah, aku baru saja mendengar ada nada kecewa pada suaranya.
Oh, Hellooo ... Aku hanya bermaksud menjagamu, Clara! Tidakkah kau tahu itu?
"Tapi kurasa dia bukan orang jahat," asumsinya. "Kalau aku boleh berkomentar, dia tampan juga. Kau juga berpikir hal yang sama, kan?"
Sebenarnya ... ya.
Itulah alasan kenapa aku selalu mencuri-curi pandang dari balkonku ke rumah sebelah ~ rumahnya. Itulah alasan kenapa aku betah berjam-jam duduk di dekat jendela hanya untuk melihat ia berkutat dengan buku-buku di meja belajarnya. Namun sepertinya ... aku terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Sudah kubilang dia agak gila," ujarku.
"Sepertinya aku tahu bagaimana cara mengetahuinya," kata Clara misterius. Aku menatapnya penuh tanya. Seolah ia bisa menerka apa pertanyaan di balik tatapanku. Ia melanjutkan, "Ia akan berusaha keras untuk mengetahui siapa aku jika ia benar-benar tertarik denganku. Dan hanya satu cara yang ia tahu. Kau."
"Aku?"
"Ya, dia akan terus mengejarmu sampai kau memberikan informasi padanya," sahutnya penuh kemenangan. "Ah, aku jadi penasaran. Sita, kau mau melakukan sesuatu?"
"Tergantung," jawabku setelah terdiam cukup lama.
"Kau harus menjadi informan yang sepelit mungkin. Aku ingin tahu seberapa besar usahanya."
Aku kembali menengok ke belakang ~ ke arahnya. Ia masih mengawasi kami.
Oh tidak.
Kali ini aku dihadapkan pada dua insan yang dua-duanya kurang waras!
***
Tok tok tok ...
Terdengar suara ketukan pintu dari arah ruang tamu. Ini sudah yang ke sekian kalinya pada seminggu terakhir ini. Namun aku tak pernah sekali pun menemuinya. Sesuai keinginan Clara, aku menjadi informan yang sepelit mungkin. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali bisa bertemu dengannya dan mengobrol. Itu impianku. Tapi kalau hanya untuk membahas Clara, rasanya tiba-tiba aku lebih baik tak usah menemuinya. Aku tak sanggup merasakan hatiku sesak lagi.
"Kau mengacuhkannya terlalu lama, Sita," komentar Austin. "Kesempatan bertemu sang pujaan itu tak datang dua kali, lho!"
Ia sudah datang puluhan kali dalam waktu seminggu terakhir, Austin, batinku kesal.
"Memangnya siapa yang kau maksud dengan 'sang pujaan' itu, Kak?" sahutku. "Aku kan tak punya."
"Kau kira aku tidak tahu kalau kau sangat sering memerhatikannya dari atas balkon atau jendela kamarmu?" aku Austin. Membuat terkejut seketika.
"Kau tahu?"
"Tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku, Adik kecil," ucapnya santai sembari membuka-buka tugas esai yang sedang ia garap. "Lebih baik kau temui ia sekarang."
"Clara," panggilku saat aku telah berada di sampingnya. "Kau sendirian? Mana Thomas?"
"Lebih baik jangan bicarakan dia dulu," pinta Clara muram. "Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk itu."
"Kalian bertengkar?"
"Apakah aku harus memberitahumu lebih dari sekali?" Ia tampak gusar. Ups, kurasa aku baru saja melakukan kekeliruan.
"Oh, sori," ucapku.
"Cla!"
Terdengar seseorang memanggil dari arah belakang kami. Seketika kami berdua menoleh untuk mengetahui siapa si empunya suara. Ternyata masih pria itu. Pria berkaos tanpa lengan warna merah maroon dengan celana jeans selutut model skaters itu. Ia melambai. Kukira ia belum genap lima menit yang lalu menyebutkan namanya, tapi aku sudah lupa.
"Dia memanggilku, atau memanggilmu?" tanya Clara.
"Entahlah," jawabku melengos. "Kurasa dia agak gila. Dia bertanya tentangmu padaku."
"Apakah menurutmu ia tertarik padaku?" tanya Clara lagi. Pandangannya masih terfokus ke arah pria itu. Tersenyum.
Sekali lagi, keadaan ini sangat menggangguku.
"Dengan penampilanmu yang seeksotis itu, kecantikanmu yang sempurna itu, dan ... ya, kurasa ia tertarik padamu," akuku enggan.
"Lalu, kau menceritakannya?"
"Aku tidak akan memberikan informasi tentang sahabatku pada orang asing, kan?" sahutku.
"Oh, well, kau benar," jawabnya akhirnya. Ia mulai mengalihkan pandangannya. Tapi aku bersumpah, aku baru saja mendengar ada nada kecewa pada suaranya.
Oh, Hellooo ... Aku hanya bermaksud menjagamu, Clara! Tidakkah kau tahu itu?
"Tapi kurasa dia bukan orang jahat," asumsinya. "Kalau aku boleh berkomentar, dia tampan juga. Kau juga berpikir hal yang sama, kan?"
Sebenarnya ... ya.
Itulah alasan kenapa aku selalu mencuri-curi pandang dari balkonku ke rumah sebelah ~ rumahnya. Itulah alasan kenapa aku betah berjam-jam duduk di dekat jendela hanya untuk melihat ia berkutat dengan buku-buku di meja belajarnya. Namun sepertinya ... aku terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Sudah kubilang dia agak gila," ujarku.
"Sepertinya aku tahu bagaimana cara mengetahuinya," kata Clara misterius. Aku menatapnya penuh tanya. Seolah ia bisa menerka apa pertanyaan di balik tatapanku. Ia melanjutkan, "Ia akan berusaha keras untuk mengetahui siapa aku jika ia benar-benar tertarik denganku. Dan hanya satu cara yang ia tahu. Kau."
"Aku?"
"Ya, dia akan terus mengejarmu sampai kau memberikan informasi padanya," sahutnya penuh kemenangan. "Ah, aku jadi penasaran. Sita, kau mau melakukan sesuatu?"
"Tergantung," jawabku setelah terdiam cukup lama.
"Kau harus menjadi informan yang sepelit mungkin. Aku ingin tahu seberapa besar usahanya."
Aku kembali menengok ke belakang ~ ke arahnya. Ia masih mengawasi kami.
Oh tidak.
Kali ini aku dihadapkan pada dua insan yang dua-duanya kurang waras!
***
Tok tok tok ...
Terdengar suara ketukan pintu dari arah ruang tamu. Ini sudah yang ke sekian kalinya pada seminggu terakhir ini. Namun aku tak pernah sekali pun menemuinya. Sesuai keinginan Clara, aku menjadi informan yang sepelit mungkin. Meskipun sebenarnya aku ingin sekali bisa bertemu dengannya dan mengobrol. Itu impianku. Tapi kalau hanya untuk membahas Clara, rasanya tiba-tiba aku lebih baik tak usah menemuinya. Aku tak sanggup merasakan hatiku sesak lagi.
"Kau mengacuhkannya terlalu lama, Sita," komentar Austin. "Kesempatan bertemu sang pujaan itu tak datang dua kali, lho!"
Ia sudah datang puluhan kali dalam waktu seminggu terakhir, Austin, batinku kesal.
"Memangnya siapa yang kau maksud dengan 'sang pujaan' itu, Kak?" sahutku. "Aku kan tak punya."
"Kau kira aku tidak tahu kalau kau sangat sering memerhatikannya dari atas balkon atau jendela kamarmu?" aku Austin. Membuat terkejut seketika.
"Kau tahu?"
"Tak ada yang bisa kau sembunyikan dariku, Adik kecil," ucapnya santai sembari membuka-buka tugas esai yang sedang ia garap. "Lebih baik kau temui ia sekarang."
Akhirnya
dengan ogah-ogahan aku beranjak dari ruang keluarga. Aku sempat ragu beberapa
saat sebelum akhirnya aku membukakan pintu.
Telah hadir sesosok pria di sana. Ya, pria itu. Kali ini ia mengenakan T-shirt putih bertuliskan 'friendship' dengan font melingkar indah di tengahnya, dengan celana tentara panjang. Ia tampak tetap menawan dalam pantulan sinar lampu neon rumah.
"Baiklah, sekarang kau mau membukakan pintu untukku," ucapnya.
"Kalau kau keberatan, aku bisa kembali menutupnya," sergahku.
"Jangan," sahutnya cepat. "Please, jangan. Aku sudah menunggu selama seminggu."
Aku terdiam menatapnya. Berusaha bersikap sedingin yang kubisa.
"Keberatan kalau lita mengobrol di taman rumahmu sebentar?" tanyanya. Ia menatapku memelas. Mata biru safirnya kembali memasuki duniaku, menghipnotisku, sehingga aku melepaskan peganganku pada pintu dan berjalan memimpin ke arah taman rumah yang terletak di halaman samping.
Sebuah bangku panjang baja sengaja di tempatkan di sana, di bawah sebuah tiang lampu.
Telah hadir sesosok pria di sana. Ya, pria itu. Kali ini ia mengenakan T-shirt putih bertuliskan 'friendship' dengan font melingkar indah di tengahnya, dengan celana tentara panjang. Ia tampak tetap menawan dalam pantulan sinar lampu neon rumah.
"Baiklah, sekarang kau mau membukakan pintu untukku," ucapnya.
"Kalau kau keberatan, aku bisa kembali menutupnya," sergahku.
"Jangan," sahutnya cepat. "Please, jangan. Aku sudah menunggu selama seminggu."
Aku terdiam menatapnya. Berusaha bersikap sedingin yang kubisa.
"Keberatan kalau lita mengobrol di taman rumahmu sebentar?" tanyanya. Ia menatapku memelas. Mata biru safirnya kembali memasuki duniaku, menghipnotisku, sehingga aku melepaskan peganganku pada pintu dan berjalan memimpin ke arah taman rumah yang terletak di halaman samping.
Sebuah bangku panjang baja sengaja di tempatkan di sana, di bawah sebuah tiang lampu.
Aku
dan dia menuju bangku itu dan duduk di sana.
"So, ceritakan padaku, Cla," pintanya. "Gadis bernama Clas ... maksudku, Clara. Ya, gadis itu."
"Kau benar-benar serius tertarik padanya?"
Pertanyaan yang tolol, batinku. Seharusnya aku tak menanyakannya. Apa sih kurangnya Clara? Ia cantik, menawan, memesona, sempurna tanpa cacat. Kalau dibandingkan dengan aku ... jelas aku tak ada apa-apanya dibandingkan dia.
"Kenapa tidak?" sahutnya. Ia tersenyum. "Ia gadis idaman."
Tenggorokanku tercekat seketika. Aku rasanya hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Lagi-lagi rasa tak biasa ini menyergapku. Memangnya apa yang terjadi? Mungkinkah aku ... cemburu?
"Well," ucapku setelah mendapatkan kembali suaraku. "Namanya Clara Angelica Sanders. Ia ...."
Bla bla bla.
Kuceritakan panjang lebar, bahkan hingga hal remeh sekecil apapun yang aku tahu. Ketika ia kehilangan kucingnya sepuluh tahun yang lalu, misalnya. Atau ketika ia menangis karena takut diimunisasi pada waktu kelas satu sekolah dasar.
"So, ceritakan padaku, Cla," pintanya. "Gadis bernama Clas ... maksudku, Clara. Ya, gadis itu."
"Kau benar-benar serius tertarik padanya?"
Pertanyaan yang tolol, batinku. Seharusnya aku tak menanyakannya. Apa sih kurangnya Clara? Ia cantik, menawan, memesona, sempurna tanpa cacat. Kalau dibandingkan dengan aku ... jelas aku tak ada apa-apanya dibandingkan dia.
"Kenapa tidak?" sahutnya. Ia tersenyum. "Ia gadis idaman."
Tenggorokanku tercekat seketika. Aku rasanya hampir lupa bagaimana caranya bernapas. Lagi-lagi rasa tak biasa ini menyergapku. Memangnya apa yang terjadi? Mungkinkah aku ... cemburu?
"Well," ucapku setelah mendapatkan kembali suaraku. "Namanya Clara Angelica Sanders. Ia ...."
Bla bla bla.
Kuceritakan panjang lebar, bahkan hingga hal remeh sekecil apapun yang aku tahu. Ketika ia kehilangan kucingnya sepuluh tahun yang lalu, misalnya. Atau ketika ia menangis karena takut diimunisasi pada waktu kelas satu sekolah dasar.
Semua itu tak
begitu sulit untukku berhubung aku memang selalu bersamanya sejak kecil.
Menyebutkan segala favoritnya; makanan, minuman, aktivitas, boneka, warna,
hobi, segalanya.
Sama sekali tak sulit. Justru yang sulit adalah mengidentifikasi perasaanku sendiri.
Tak terasa dua jam berlalu begitu singkatnya. Aku merasa capai karena ia menuntutku berceloteh terus, tanpa minum. Bisa dibayangkan betapa keringnya tenggorokanku.
Ketika aku beranjak, pandanganku sempat ke arah langit yang penuh bintang. Karena pandanganku tak kunjung turun, sepertinya ia mengikuti gerakanku.
"Malam yang indah. Penuh bintang, dan segaris bulan," komentarnya.
"Sirius," ucapku lirih, namun kurasa ia mendengarnya.
"Kau bisa membaca rasi bintang?"
"Hanya beberapa," jawabku tanpa menoleh. "Aku suka bintang. Secara umum. Melihat mereka membuatku rileks. Membuatku tenang, kau tahu."
"Aku lebih suka bulan," timpalnya. "Ia indah. Suatu saat, kakiku akan menginjak tempat itu."
Memang di zaman serba modern ini sudah bukan tak mungkin lagi untuk berkunjung ke bulan. Tapi, kalau kau bukan siapa-siapa, maksudku, bukan anak orang terpandang, impian itu pasti akan hangus dan hanya tetap akan tinggal impian.
"Mungkin waktu berkhayal sudah habis," ujarku. "Saatnya kau pulang. Sudah terlalu larut."
"Apakah kau baru saja mengatakan 'Jared, awas kau sakit kalau terkena udara malam'?" ujarnya.
Aku melongo. Aku mendadak pun ingat namanya.
"Tidak. Aku ... aku baru saja mengusirmu, kau tahu itu?" elakku.
"Oh, baiklah. Tapi kuanggap kau baru saja mengatakannya. Hahaha. Daah! Selamat malam!"
Ia segera berlalu. Memunggungiku, membuka pintu gerbang, melewatinya, menutupnya, dan lenyap. Masih terdengar sayup-sayup langkah kaki yang kuyakini sebagai langkah kakinya.
Aku kembali melongok ke bintang. Mendadak mereka seolah kompak mengerling kepadaku.
Ah, tidak. Aku pasti sudah mengantuk. Pasti aku sedikit tertular oleh si sinting Jared. Oh, no.
Aku harus tidur. Sekarang.
***
Sama sekali tak sulit. Justru yang sulit adalah mengidentifikasi perasaanku sendiri.
Tak terasa dua jam berlalu begitu singkatnya. Aku merasa capai karena ia menuntutku berceloteh terus, tanpa minum. Bisa dibayangkan betapa keringnya tenggorokanku.
Ketika aku beranjak, pandanganku sempat ke arah langit yang penuh bintang. Karena pandanganku tak kunjung turun, sepertinya ia mengikuti gerakanku.
"Malam yang indah. Penuh bintang, dan segaris bulan," komentarnya.
"Sirius," ucapku lirih, namun kurasa ia mendengarnya.
"Kau bisa membaca rasi bintang?"
"Hanya beberapa," jawabku tanpa menoleh. "Aku suka bintang. Secara umum. Melihat mereka membuatku rileks. Membuatku tenang, kau tahu."
"Aku lebih suka bulan," timpalnya. "Ia indah. Suatu saat, kakiku akan menginjak tempat itu."
Memang di zaman serba modern ini sudah bukan tak mungkin lagi untuk berkunjung ke bulan. Tapi, kalau kau bukan siapa-siapa, maksudku, bukan anak orang terpandang, impian itu pasti akan hangus dan hanya tetap akan tinggal impian.
"Mungkin waktu berkhayal sudah habis," ujarku. "Saatnya kau pulang. Sudah terlalu larut."
"Apakah kau baru saja mengatakan 'Jared, awas kau sakit kalau terkena udara malam'?" ujarnya.
Aku melongo. Aku mendadak pun ingat namanya.
"Tidak. Aku ... aku baru saja mengusirmu, kau tahu itu?" elakku.
"Oh, baiklah. Tapi kuanggap kau baru saja mengatakannya. Hahaha. Daah! Selamat malam!"
Ia segera berlalu. Memunggungiku, membuka pintu gerbang, melewatinya, menutupnya, dan lenyap. Masih terdengar sayup-sayup langkah kaki yang kuyakini sebagai langkah kakinya.
Aku kembali melongok ke bintang. Mendadak mereka seolah kompak mengerling kepadaku.
Ah, tidak. Aku pasti sudah mengantuk. Pasti aku sedikit tertular oleh si sinting Jared. Oh, no.
Aku harus tidur. Sekarang.
***
Hari ini hari
pertama masuk tahun ajaran baru. Seharusnya telah terpikirkan olehku kalau aku
akan berada satu sekolah dengan Jared. Bahkan satu kelas. Tidak, bahkan satu
bangku. Ini gara-gara Clara tak masuk hari ini, jadi hanya tersisa satu bangku
kosong ~ di sampingku, dan ia datang terlambat. Jadi, sebelum Madam Collin,
guru sejarah kami, marah dan memunculkan kedua
tanduk iblisnya, ia segera berhambur ke bangkuku.
Benar-benar hari yang sial, sungut-sungutku.
"Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dari kelas, kan?" bisikan di sampingku itu menyadarkanku dari alam bawah sadar yang kulamunkan. Cukup menyentakku sebenarnya.
"Apakah aku harus?" sahutku, masih dalam bentuk bisikan.
"Wajahmu menyiratkan semuanya, kau tahu." Ia kembali menari-narikan bolpoinnya di atas buku ~ mulai mencatat apa yang dituliskan Madam Collin di Whiteboard.
"Sok tahu," gumamku.
"Oh, ya. Kemana Clara, by the way?" tanyanya, masih mencatat. Entahlah, rasa sesak itu datang lagi. Sepertinya aku tak begitu senang dengan
Benar-benar hari yang sial, sungut-sungutku.
"Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dari kelas, kan?" bisikan di sampingku itu menyadarkanku dari alam bawah sadar yang kulamunkan. Cukup menyentakku sebenarnya.
"Apakah aku harus?" sahutku, masih dalam bentuk bisikan.
"Wajahmu menyiratkan semuanya, kau tahu." Ia kembali menari-narikan bolpoinnya di atas buku ~ mulai mencatat apa yang dituliskan Madam Collin di Whiteboard.
"Sok tahu," gumamku.
"Oh, ya. Kemana Clara, by the way?" tanyanya, masih mencatat. Entahlah, rasa sesak itu datang lagi. Sepertinya aku tak begitu senang dengan
percakapan
yang menyangkut Clara ini, meskipun ia sahabatku. "Aku melihat namanya di
daftar siswa kelas XI IPA 3, namun sampai detik ini, aku belum melihat senyum
manisnya."
Bisakah kau tak membicarakannya sekali saja saat kau bersamaku, Jared? Huh!
"Sepertinya ia masih liburan bersama keluarganya dan belum pulang," jawabku.
"Liburan? Oh, kedengarannya menarik. Dia pasti suka travelling. Aku juga. Kurasa kami bakal cocok," komentarnya. "Tak peduli ia masih pacar ~ siapa kau bilang kemarin? Thom ~ Thomas, benar? Ya, tak peduli ia miliknya. Sebelum terucap janji suci di antara mereka, kesempatan masih terbuka lebar untukku."
"Bisakah kau diam, Jared?" sahutku cepat. Ia memandangku. Mata biru safirnya menatap lekat ke dalam mataku. Lagi.
"Kau terganggu," ucapnya, lebih terasa seperti menebak daripada bertanya. "Kenapa kau terganggu? Kau tak suka aku terlalu memberondongmu dengan segala hal tetek bengek tentang Clara? Atau ... atau kau tak suka aku dekat dengan Clara?"
"Ap ... apa yang kau bicarakan?"
Bisakah kau tak membicarakannya sekali saja saat kau bersamaku, Jared? Huh!
"Sepertinya ia masih liburan bersama keluarganya dan belum pulang," jawabku.
"Liburan? Oh, kedengarannya menarik. Dia pasti suka travelling. Aku juga. Kurasa kami bakal cocok," komentarnya. "Tak peduli ia masih pacar ~ siapa kau bilang kemarin? Thom ~ Thomas, benar? Ya, tak peduli ia miliknya. Sebelum terucap janji suci di antara mereka, kesempatan masih terbuka lebar untukku."
"Bisakah kau diam, Jared?" sahutku cepat. Ia memandangku. Mata biru safirnya menatap lekat ke dalam mataku. Lagi.
"Kau terganggu," ucapnya, lebih terasa seperti menebak daripada bertanya. "Kenapa kau terganggu? Kau tak suka aku terlalu memberondongmu dengan segala hal tetek bengek tentang Clara? Atau ... atau kau tak suka aku dekat dengan Clara?"
"Ap ... apa yang kau bicarakan?"
"Kau
cemburu?"
Lagi-lagi hatiku tersentak. Ia membuatku terkejut dengan pertanyaannya. Bukan, kesimpulannya. Aku tetap memandangnya lekat-lekat, berusaha mencari kata yang tepat untuk mengelaknya. Namun entah kenapa rasanya aku bungkam. Aku diam. Hanya itu yang bisa kulakukan karena kurasa ... kurasa kesimpulannya benar.
"Ehem!"
Seseorang berdeham di depan kelas. Sontak pandanganku teralih padanya. Jantungku hampir melompat keluar begitu mendapati Madam Collin berdiri dengan bersilang lengan di dada, menatap bangku kami dengan garang.
"Kurasa libur panjang musim panas tak cukup panjang untuk membuat kalian berdua terbebas dari segala peraturan sekolah. Tapi sayang, hari ini kalian harus kembali. Dan kuharap, kalian serius mengikuti pelajaranku," ucap Madam Collin sinis.
"Maaf, Madam," ucapku lirih ~ sedikit malu karena ditegur di hadapan banyak murid lain. Tapi juga senang karena terbebas dari tuntutan menjawab pertanyaan Jared yang ~ well, yang itu.
Aku ~ sepertinya ~ aku memang cemburu.
Lagi-lagi hatiku tersentak. Ia membuatku terkejut dengan pertanyaannya. Bukan, kesimpulannya. Aku tetap memandangnya lekat-lekat, berusaha mencari kata yang tepat untuk mengelaknya. Namun entah kenapa rasanya aku bungkam. Aku diam. Hanya itu yang bisa kulakukan karena kurasa ... kurasa kesimpulannya benar.
"Ehem!"
Seseorang berdeham di depan kelas. Sontak pandanganku teralih padanya. Jantungku hampir melompat keluar begitu mendapati Madam Collin berdiri dengan bersilang lengan di dada, menatap bangku kami dengan garang.
"Kurasa libur panjang musim panas tak cukup panjang untuk membuat kalian berdua terbebas dari segala peraturan sekolah. Tapi sayang, hari ini kalian harus kembali. Dan kuharap, kalian serius mengikuti pelajaranku," ucap Madam Collin sinis.
"Maaf, Madam," ucapku lirih ~ sedikit malu karena ditegur di hadapan banyak murid lain. Tapi juga senang karena terbebas dari tuntutan menjawab pertanyaan Jared yang ~ well, yang itu.
Aku ~ sepertinya ~ aku memang cemburu.
"Oh,
ya," bisik Jared lagi ketik Madam Collin melenggang menjauh dan
memunggungi kami. "Kau belum memberiku alamat rumahnya. Kuharap kau segera
memberikannya padaku."
Kurasa ia tidak kapok dengan teguran Madam Collin. Ia selalu saja mencari masalah.
"Whatever."
***
BUKK!
Sesuatu menghantam jendela kamarku. Aku yang sedang asyik mengerjakan kuis biologi langsung terlonjak kaget. Penasaran, aku menuju jendela. Tak ada apa-apa, namun di bawah sana telah berdiri seseorang dengan kaos hitam dan skaters panjang. Seharusnya aku tahu siapa lagi yang sekurangkerjaan ini kalau bukan si sinting Jared.
Kuputar bola mataku saat ia menyuruhku turun dengan isyaratnya. Tapi toh akhirnya ia kuturuti juga. Tak butuh waktu lama untuk kembali duduk berdua di bangku taman di bawah tebaran bintang di langit yang gelap.
"Tadi aku ke rumah Clara," lapornya. "Terima kasih atas alamat yang kau berikan padaku itu. Kukira awalnya kau kan menipuku, tapi ternyata kau menuliskan alamat yang benar. Terima kasih, Cla."
Kurasa ia tidak kapok dengan teguran Madam Collin. Ia selalu saja mencari masalah.
"Whatever."
***
BUKK!
Sesuatu menghantam jendela kamarku. Aku yang sedang asyik mengerjakan kuis biologi langsung terlonjak kaget. Penasaran, aku menuju jendela. Tak ada apa-apa, namun di bawah sana telah berdiri seseorang dengan kaos hitam dan skaters panjang. Seharusnya aku tahu siapa lagi yang sekurangkerjaan ini kalau bukan si sinting Jared.
Kuputar bola mataku saat ia menyuruhku turun dengan isyaratnya. Tapi toh akhirnya ia kuturuti juga. Tak butuh waktu lama untuk kembali duduk berdua di bangku taman di bawah tebaran bintang di langit yang gelap.
"Tadi aku ke rumah Clara," lapornya. "Terima kasih atas alamat yang kau berikan padaku itu. Kukira awalnya kau kan menipuku, tapi ternyata kau menuliskan alamat yang benar. Terima kasih, Cla."
Aku menemukan ada
ketulusan di balik suaranya.
"Well, kurasa ~ kau benar," sahutku. "Kenapa tak terpikirkan olehku, ya?"
"Oh, ayolah, aku tahu kau tak sejahat itu," ungkapnya.
"Jadi, apa lagi yang kau inginkan sekarang?" tanyaku, lebih terkesan menodong sebenarnya.
"Well," ucapnya tampak berpikir. "Minggu depan temanku merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas. Kau tahu, pesta. Dan setiap yang hadir harus membawa pasangan. Dan aku berencana untuk mengajak Clara pada acara itu."
Jleb !
Rasa sesak itu hadir kembali. Ah, aku benar-benar benci rasa ini!
"So?"
"Temani aku mencarikanku sebuah dress untuknya," ucapnya. "Besok sore sepulang sekolah aku akan menjemputmu."
"Kau bercanda."
"Tidak, tentu saja tidak. Kulihat badan kalian seukuran, jadi kurasa tak ada salahnya kalau aku mengukur badanmu saja," sahutnya. "Baiklah, sudah malam. Aku harus pergi sebelum kau kembali mengusirku. Thanks, Cla! Dah!"
Ia berlalu sebelum aku sempat mengatakan bersedia atau tidak. Dasar Jared! Kurasa dia benar-benar
"Well, kurasa ~ kau benar," sahutku. "Kenapa tak terpikirkan olehku, ya?"
"Oh, ayolah, aku tahu kau tak sejahat itu," ungkapnya.
"Jadi, apa lagi yang kau inginkan sekarang?" tanyaku, lebih terkesan menodong sebenarnya.
"Well," ucapnya tampak berpikir. "Minggu depan temanku merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas. Kau tahu, pesta. Dan setiap yang hadir harus membawa pasangan. Dan aku berencana untuk mengajak Clara pada acara itu."
Jleb !
Rasa sesak itu hadir kembali. Ah, aku benar-benar benci rasa ini!
"So?"
"Temani aku mencarikanku sebuah dress untuknya," ucapnya. "Besok sore sepulang sekolah aku akan menjemputmu."
"Kau bercanda."
"Tidak, tentu saja tidak. Kulihat badan kalian seukuran, jadi kurasa tak ada salahnya kalau aku mengukur badanmu saja," sahutnya. "Baiklah, sudah malam. Aku harus pergi sebelum kau kembali mengusirku. Thanks, Cla! Dah!"
Ia berlalu sebelum aku sempat mengatakan bersedia atau tidak. Dasar Jared! Kurasa dia benar-benar
gila.
Namun sesekon kemudian aku terdiam. Melihat tingkah konyolnya membuatku sedikit menyunggingkan senyum tipis.
"Ehem! Sepertinya aku mendengar suara degup jantung yang sangat keras."
Suara ini ... Suara Austin!
Aku sedikit terlonjak karena tiba-tiba ia sudah hadir di sampingku. Kapan ia datang memangnya? Kenapa aku tak menyadarinya?
"Kalau memang perasaanmu berkata kau mencintainya, akui saja," lanjutnya. "Semuanya tergambar jelas di matamu, Adik kecil."
"Kau mengigau, Kak," sahutku.
"Aku sadar sepenuhnya, Sita," timpal Austin. "Aku sedang tidak mengigau."
Kuhembuskan nafas kesal.
"Tapi sepertinya ia lebih tertarik pada sahabatmu daripada dirimu, ya?"
"Diamlah, Kak," ucapku gusar. "Kau tidak tahu apa-apa. Lagipula ... kurasa normal saja ia tertarik pada Clara. Gadis itu kan memang sempurna. Kalau dibandingkan dengannya, tentu saja aku tak ada separuhnya."
"Kau terlalu merendah, Nak," kata Austin ~ menirukan gaya bicara Dad ketika memberikan beberapa buah nasihat pada kedua anaknya ini.
Namun sesekon kemudian aku terdiam. Melihat tingkah konyolnya membuatku sedikit menyunggingkan senyum tipis.
"Ehem! Sepertinya aku mendengar suara degup jantung yang sangat keras."
Suara ini ... Suara Austin!
Aku sedikit terlonjak karena tiba-tiba ia sudah hadir di sampingku. Kapan ia datang memangnya? Kenapa aku tak menyadarinya?
"Kalau memang perasaanmu berkata kau mencintainya, akui saja," lanjutnya. "Semuanya tergambar jelas di matamu, Adik kecil."
"Kau mengigau, Kak," sahutku.
"Aku sadar sepenuhnya, Sita," timpal Austin. "Aku sedang tidak mengigau."
Kuhembuskan nafas kesal.
"Tapi sepertinya ia lebih tertarik pada sahabatmu daripada dirimu, ya?"
"Diamlah, Kak," ucapku gusar. "Kau tidak tahu apa-apa. Lagipula ... kurasa normal saja ia tertarik pada Clara. Gadis itu kan memang sempurna. Kalau dibandingkan dengannya, tentu saja aku tak ada separuhnya."
"Kau terlalu merendah, Nak," kata Austin ~ menirukan gaya bicara Dad ketika memberikan beberapa buah nasihat pada kedua anaknya ini.
"Ada satu hal
pada dirimu yang tak dimiliki sahabatmu itu. Dan hal itu membuatmu lebih unggul
daripadanya."
Aku menatapnya dengan mengerutkan dahi. Tanpa sengaja kunaikkan salah satu alisku.
"Ketulusan dan kesetiaan," sambungnya.
"Kau hanya bilang satu hal, kalau aku boleh mengoreksi," komentarku.
"Well, anggap saja yang satunya bonus," ucapnya. "Kau mencintainya, kan?"
"Ehmb?" Kualihkan pandanganku darinya. Aku sadar betul kalau aku tak pandai berbohong. Jika Austin melihat mataku saat aku berkilah, justru ia akan tahu bagaimana kejujurannya. Ia membaca mataku. Entah bagaimana caranya. "Tidak."
"Kau berhohong."
"Tidak."
"Ya. Kau berbohong," ototnya. "Mau sampai berapa lama lagi kau menyimpan rasamu itu, Sita?"
"Aku tidak menyimpan rasa apapun, Kak," elakku.
"Sita, dengar," instruksinya. "Sebenarnya bukan masalahku kau menyimpan rasa atau tidak, tapi please, jujurlah. Setidaknya jujur pada dirimu sendiri. Kau tahu, aku kakakmu. Aku hanya ... aku hanya tak ingin kau menyakiti dirimu sendiri.
Aku menatapnya dengan mengerutkan dahi. Tanpa sengaja kunaikkan salah satu alisku.
"Ketulusan dan kesetiaan," sambungnya.
"Kau hanya bilang satu hal, kalau aku boleh mengoreksi," komentarku.
"Well, anggap saja yang satunya bonus," ucapnya. "Kau mencintainya, kan?"
"Ehmb?" Kualihkan pandanganku darinya. Aku sadar betul kalau aku tak pandai berbohong. Jika Austin melihat mataku saat aku berkilah, justru ia akan tahu bagaimana kejujurannya. Ia membaca mataku. Entah bagaimana caranya. "Tidak."
"Kau berhohong."
"Tidak."
"Ya. Kau berbohong," ototnya. "Mau sampai berapa lama lagi kau menyimpan rasamu itu, Sita?"
"Aku tidak menyimpan rasa apapun, Kak," elakku.
"Sita, dengar," instruksinya. "Sebenarnya bukan masalahku kau menyimpan rasa atau tidak, tapi please, jujurlah. Setidaknya jujur pada dirimu sendiri. Kau tahu, aku kakakmu. Aku hanya ... aku hanya tak ingin kau menyakiti dirimu sendiri.
Itu saja."
Aku menatapnya lekat-lekat. Mata topaz Austin ~ mata yang sama denganku ~ terlihat begitu cerah di bawah temaram lampu taman. Seingatku, sudah lama kakak semata wayangku ini meninggalkan ekspresi yang seserius ini. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali ia memasang muka begini.
"Kau boleh tak memberitahuku, tapi setidaknya beri tahu dirimu. Kau paham maksudku, kan?" lanjutnya.
Aku mengangguk.
"Well, sudah larut. Aku masuk dulu, dan kusarankan kau segera menyusul. Udara malam tak baik untuk kesehatanmu." Austin beranjak. Ia melangkahkan kaki menuju rumah ~ menjauhiku.
"Ah, iya!" Ia berseru di samping pintu dengan memandang ke arahku. "Kurasa panggilan 'Cla' itu terdengar keren. Hahahaha..." Lalu ia lenyap.
Dasar Austin!
Sejenak kemudian, akhirnya hanya hening yang tersisa. Suara-suara Austin terus bergema di kepalaku, seolah berjejalan, berebut ingin keluar lebih dulu antara satu dengan yang lainnya.
Dan kurasa ... Austin benar.
Aku mencintainya.
Aku mencintai Jared.
***
Aku menatapnya lekat-lekat. Mata topaz Austin ~ mata yang sama denganku ~ terlihat begitu cerah di bawah temaram lampu taman. Seingatku, sudah lama kakak semata wayangku ini meninggalkan ekspresi yang seserius ini. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali ia memasang muka begini.
"Kau boleh tak memberitahuku, tapi setidaknya beri tahu dirimu. Kau paham maksudku, kan?" lanjutnya.
Aku mengangguk.
"Well, sudah larut. Aku masuk dulu, dan kusarankan kau segera menyusul. Udara malam tak baik untuk kesehatanmu." Austin beranjak. Ia melangkahkan kaki menuju rumah ~ menjauhiku.
"Ah, iya!" Ia berseru di samping pintu dengan memandang ke arahku. "Kurasa panggilan 'Cla' itu terdengar keren. Hahahaha..." Lalu ia lenyap.
Dasar Austin!
Sejenak kemudian, akhirnya hanya hening yang tersisa. Suara-suara Austin terus bergema di kepalaku, seolah berjejalan, berebut ingin keluar lebih dulu antara satu dengan yang lainnya.
Dan kurasa ... Austin benar.
Aku mencintainya.
Aku mencintai Jared.
***
"Apakah kau
pikir, Clara akan menyukai gaun yang ini?" Jared menunjukkan sebuah gaun
yang begitu mewah. Berwarna putih panjang, penuh renda, penuh payet gemerlapan.
"Kukira Clara masih ingin menikmati masa mudanya," komentarku. "Ia masih belum ingin melakukan pernikahan."
"Oh, ini gaun pernikahan kalau begitu?" ucapnya dengan ekspresi lucu. "Lalu, gaun untuk ke pesta itu yang bagaimana? Ayolah, Cla ... help me! Hal ini membuatku frustasi, kau tahu. Perempuan itu ribet! Coba kalau laki-laki, dengan hanya mengenakan kemeja dan celana simple, beres!"
"Kenapa kau tidak mengajak pria saja kalau begitu?" responku.
"Oh, Cla, come on!"
Aku memutar bola mata. "Lewat sini."
Aku berjalan memimpin menuju booth lain. Ada beberapa dress simple yang digantung di sana. Hampir segala warna tersedia.
Jared mengamati dress-dress itu. Awalnya ia mengambil yang warna kuning, tapi aku menggeleng. Terlalu norak. Kemudian warna ungu, hijau zamrud, merah maron, putih, dan semuanya hanya kujawab dengan gelengan kepala ketika
"Kukira Clara masih ingin menikmati masa mudanya," komentarku. "Ia masih belum ingin melakukan pernikahan."
"Oh, ini gaun pernikahan kalau begitu?" ucapnya dengan ekspresi lucu. "Lalu, gaun untuk ke pesta itu yang bagaimana? Ayolah, Cla ... help me! Hal ini membuatku frustasi, kau tahu. Perempuan itu ribet! Coba kalau laki-laki, dengan hanya mengenakan kemeja dan celana simple, beres!"
"Kenapa kau tidak mengajak pria saja kalau begitu?" responku.
"Oh, Cla, come on!"
Aku memutar bola mata. "Lewat sini."
Aku berjalan memimpin menuju booth lain. Ada beberapa dress simple yang digantung di sana. Hampir segala warna tersedia.
Jared mengamati dress-dress itu. Awalnya ia mengambil yang warna kuning, tapi aku menggeleng. Terlalu norak. Kemudian warna ungu, hijau zamrud, merah maron, putih, dan semuanya hanya kujawab dengan gelengan kepala ketika
ia menanyakan
pendapatku. Hingga akhirnya ia mengambil dua buah. Yang satu warna biru
elektrik selutut dengan tali tipis di pundak, dan yang satunya warna hitam
gemerlap panjang tanpa lengan.
"Apakah kau masih akan menggeleng lagi untuk kali ini?" ujarnya letih. Ia tampak putus asa.
Haha, kasihan juga dia.
Kupicingkan mataku, berpikir, "Kurasa yang biru lebih anggun."
"Oh, benarkah? Baiklah, kau harus mencobanya terlebih dahulu."
Ha?
Namun mau tak mau aku turuti kemauannya. Setelah mengalami proses yang tidak singkat ~ aku masih mengenakan legging hitamku ketika selesai mencoba gaun pesta itu pertama kali, membuatku tengsin setengah mati ~ akhirnya aku dan Jared meninggalkan toko baju itu.
"Kau tahu, kalau saja tadi kau menggeleng lagi, untuk dua gaun yang kuperlihatkan padamu terakhir kali, aku bersumpah akan langsung menyeretmu keluar," ucapnya di tengah perjalanan keluar pusat perbelanjaan ini.
"Oh ya? Wow," responku kecut.
Kemudian ia menimpali, namun tak begitu terdengar di telingaku
"Apakah kau masih akan menggeleng lagi untuk kali ini?" ujarnya letih. Ia tampak putus asa.
Haha, kasihan juga dia.
Kupicingkan mataku, berpikir, "Kurasa yang biru lebih anggun."
"Oh, benarkah? Baiklah, kau harus mencobanya terlebih dahulu."
Ha?
Namun mau tak mau aku turuti kemauannya. Setelah mengalami proses yang tidak singkat ~ aku masih mengenakan legging hitamku ketika selesai mencoba gaun pesta itu pertama kali, membuatku tengsin setengah mati ~ akhirnya aku dan Jared meninggalkan toko baju itu.
"Kau tahu, kalau saja tadi kau menggeleng lagi, untuk dua gaun yang kuperlihatkan padamu terakhir kali, aku bersumpah akan langsung menyeretmu keluar," ucapnya di tengah perjalanan keluar pusat perbelanjaan ini.
"Oh ya? Wow," responku kecut.
Kemudian ia menimpali, namun tak begitu terdengar di telingaku
karena
tiba-tiba saja perhatianku terfokus pada salah satu barang yang terpajang di
salah satu booth yang kami lalui. Sebuah kalung dengan bandul bintang.
Sederhana, namun entah begitu memikatku.
"Kau menginginkannya?"
Tiba-tiba suara Jared membangunkanku dari perhatianku. Tampaknya aku salah tingkah di hadapannya. Segera kuperbaiki sikapku.
"Ah, tidak," jawabku. "Aku ... lebih baik kita segera pulang. Ayo!"
Aku kembali berjalan memimpin ~ meninggalkannya ~ menuju parkiran.
****
"Sita!"
Seseorang memanggilku saat aku tengah berjalan menuju kantin. Seorang gadis, sahabatku, Clara.
"Kau tampak begitu ceria. Sesuatu telah terjadi?" tanyaku begitu ia telah berada di sampinku. "Kau menang lotre?"
"Oh, Sita, kau ini bicara apa? Memangnya sejak kapan aku ikut lotre?" sahutnya. "Kau tahu, Jared mengirimiku parsel! Dan kau tahu isinya apa? Dress! Warnanya biru elektrik. Cantik. Kau harus melihatnya, Sita! Aku berani bersumpah, pasti dia benar-benar telah jatuh cinta padaku!"
Deg !
"Kau menginginkannya?"
Tiba-tiba suara Jared membangunkanku dari perhatianku. Tampaknya aku salah tingkah di hadapannya. Segera kuperbaiki sikapku.
"Ah, tidak," jawabku. "Aku ... lebih baik kita segera pulang. Ayo!"
Aku kembali berjalan memimpin ~ meninggalkannya ~ menuju parkiran.
****
"Sita!"
Seseorang memanggilku saat aku tengah berjalan menuju kantin. Seorang gadis, sahabatku, Clara.
"Kau tampak begitu ceria. Sesuatu telah terjadi?" tanyaku begitu ia telah berada di sampinku. "Kau menang lotre?"
"Oh, Sita, kau ini bicara apa? Memangnya sejak kapan aku ikut lotre?" sahutnya. "Kau tahu, Jared mengirimiku parsel! Dan kau tahu isinya apa? Dress! Warnanya biru elektrik. Cantik. Kau harus melihatnya, Sita! Aku berani bersumpah, pasti dia benar-benar telah jatuh cinta padaku!"
Deg !
Sesuat
yang berat seolah tengah menamparku. Sesuatu yang berat ... Aku tahu sekarang
apa itu, rasa cemburu.
Cinta.
"Dan percaya atau tidak, kurasa ... aku juga mulai menyukainya. Aku mencintainya, Sita! Aku mencintainya!"
Clara begitu bersemangat saat mengatakannya. Sepertinya ia tidak main-main. Ia serius. Tapi ... aku juga mencintainya. Aku juga telah jatuh hati pada pria bernama Jared yang terkadang menyebalkan itu. Lalu bagaimana? Apa yang harus kulakukan?
"Oh, itu ... itu bagus, Clara," tanggapku. "Tapi, bagaimana dengan Thomas?"
Dapat kurasakan raut mukanya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
"Dia? Kurasa semuanya tak lagi dapat dipertahankan, Sita. Aku tak mau menangis terus untuknya. Itu sudah terlampau sering. Lagipula, sekarang kan sudah ada Prince Jared. Ya, kan?" ujarnya.
Aku berani bersumpah. Jika diibaratkan dengan benda, hatiku ini sudah seperti kaca yang terjatuh dari balkon di lantai dua puluh. Remuk, tak berbentuk. Luluh lantak. Hanya tinggal serpihan kecil tak bermakna.
Cinta.
"Dan percaya atau tidak, kurasa ... aku juga mulai menyukainya. Aku mencintainya, Sita! Aku mencintainya!"
Clara begitu bersemangat saat mengatakannya. Sepertinya ia tidak main-main. Ia serius. Tapi ... aku juga mencintainya. Aku juga telah jatuh hati pada pria bernama Jared yang terkadang menyebalkan itu. Lalu bagaimana? Apa yang harus kulakukan?
"Oh, itu ... itu bagus, Clara," tanggapku. "Tapi, bagaimana dengan Thomas?"
Dapat kurasakan raut mukanya langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
"Dia? Kurasa semuanya tak lagi dapat dipertahankan, Sita. Aku tak mau menangis terus untuknya. Itu sudah terlampau sering. Lagipula, sekarang kan sudah ada Prince Jared. Ya, kan?" ujarnya.
Aku berani bersumpah. Jika diibaratkan dengan benda, hatiku ini sudah seperti kaca yang terjatuh dari balkon di lantai dua puluh. Remuk, tak berbentuk. Luluh lantak. Hanya tinggal serpihan kecil tak bermakna.
"Dan
kau tahu, ia mengundangku untuk ikut bersamanya pada pesta ulang tahun
temannya! Itu kabar yang sangat sangat sangat bagus, bukan? Oh,
senangnya!" lanjutnya masih dengan nada bicara yang sama cerianya.
"Well, sebenarnya, sebenarnya aku sudah tahu," akuku. Tiba-tiba ia terhenti bersorak. Ia memandang penuh tanya ke arahku. "Aku juga yang memilihkan dress itu untukmu. Jared meminta bantuanku."
"Dan kau tak pernah memberitahuku?"
"Surprise, kau tahu. Ia ingin memberimu kejutan," jawabku ngawur. Tentu saja aku tak tahu apakah Jared benar-benar berniat seperti itu. Aku hanya berusaha ~ lagi-lagi ~ menjaga perasaannya.
Tampak senyum kecil menghiasi bibirnya. Ia merangkulku.
"Oh, so sweet. I love you, my beloved best friend!" ucapnya begitu tulus. "Aku cinta kalian berdua. Apakah kau juga akan datang pada pesta itu, Sita?"
"Itu temannya. Bukan temanku."
"Oh, kumohon ... "
"Jika ada yang mengajakku, mungkin aku akan usahakan."
***
"Well, sebenarnya, sebenarnya aku sudah tahu," akuku. Tiba-tiba ia terhenti bersorak. Ia memandang penuh tanya ke arahku. "Aku juga yang memilihkan dress itu untukmu. Jared meminta bantuanku."
"Dan kau tak pernah memberitahuku?"
"Surprise, kau tahu. Ia ingin memberimu kejutan," jawabku ngawur. Tentu saja aku tak tahu apakah Jared benar-benar berniat seperti itu. Aku hanya berusaha ~ lagi-lagi ~ menjaga perasaannya.
Tampak senyum kecil menghiasi bibirnya. Ia merangkulku.
"Oh, so sweet. I love you, my beloved best friend!" ucapnya begitu tulus. "Aku cinta kalian berdua. Apakah kau juga akan datang pada pesta itu, Sita?"
"Itu temannya. Bukan temanku."
"Oh, kumohon ... "
"Jika ada yang mengajakku, mungkin aku akan usahakan."
***
"Okay, so,
apakah kau memiliki maksud lain di balik ajakan makan malammu ini?"
tanyaku. Tak kuhiraukan piring-piring berisi makanan di hadapanku itu.
Pandanganku hanya terfokus pada sosok pria yang berada di seberang meja itu.
Jared.
"Apakah itu artinya aku dilarang mengajakmu keluar?" Ia balik bertanya sambil memasukkan sepotong daging panggang dengan garpu ke mulutnya.
"Tidak," elakku. "Aku hanya penasaran kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke mari, tanpa janji terlebih dahulu."
Jared menjemputku saat aku sedang asyik menonton acara televisi favoritku. Langsung menyeretku masuk ke dalam mobilnya tanpa memberiku kesempatan berganti baju barang semenit pun. Hingga jadilah aku seperti ini. Hanya mengenakan T-shirt merah bergambar hati dengan jeans ketat selutut.
Aku tak pernah tampil di muka umum sememalukan ini sebelumnya.
"Clara bilang, kau akan datang ke pesta jika ada yang mengundangmu, kan? Well, sekarang aku lah yang mengundangmu. Ku mau datang?"
Aku terdiam. Menatapnya lekat-lekat, berusaha
Jared.
"Apakah itu artinya aku dilarang mengajakmu keluar?" Ia balik bertanya sambil memasukkan sepotong daging panggang dengan garpu ke mulutnya.
"Tidak," elakku. "Aku hanya penasaran kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke mari, tanpa janji terlebih dahulu."
Jared menjemputku saat aku sedang asyik menonton acara televisi favoritku. Langsung menyeretku masuk ke dalam mobilnya tanpa memberiku kesempatan berganti baju barang semenit pun. Hingga jadilah aku seperti ini. Hanya mengenakan T-shirt merah bergambar hati dengan jeans ketat selutut.
Aku tak pernah tampil di muka umum sememalukan ini sebelumnya.
"Clara bilang, kau akan datang ke pesta jika ada yang mengundangmu, kan? Well, sekarang aku lah yang mengundangmu. Ku mau datang?"
Aku terdiam. Menatapnya lekat-lekat, berusaha
menebak
apakah ia serius dengan undangannya itu.
"Aku sudah berbicara dengan temanku, dan ia mengizinkan. Lebih ramai, lebih seru. Begitu katanya."
Itu artinya, kalau aku datang, aku akan melihat Jared tampil berdua dengan Clara. Oh, tidak. Sudah cukup aku tahu mereka dekat selama ini. Aku masih sanggup bila aku tak harus melihat kebersamaan mereka secara langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku masih mampu menahan hatiku. Tapi jika ...
Kurasa aku tak akan sanggup. Aku yakin, aku pasti langsung tak sadarkan diri di tempat.
"Ehm, sayangnya ... hari itu aku juga sedang ada acara keluarga." Aku mencoba berbohong. "Kau tahu, resepsi pernikahan kakak sepupuku. Aku tak mungkin hadir di dua tempat secara bersamaan, kan? Jadi, maaf sekali, aku tak bisa memenuhi undanganmu, Jared."
"Apakah kau yakin?"
"Tentu saja," sahutku cepat. "Kenapa tidak?"
"Aku tak yakin," bisiknya. "Kalau begitu, beri aku sebuah pengakuan."
"Peng ... pengakuan apa? Aku tak paham maksudmu."
Memangnya pengakuan apa?
"Aku sudah berbicara dengan temanku, dan ia mengizinkan. Lebih ramai, lebih seru. Begitu katanya."
Itu artinya, kalau aku datang, aku akan melihat Jared tampil berdua dengan Clara. Oh, tidak. Sudah cukup aku tahu mereka dekat selama ini. Aku masih sanggup bila aku tak harus melihat kebersamaan mereka secara langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku masih mampu menahan hatiku. Tapi jika ...
Kurasa aku tak akan sanggup. Aku yakin, aku pasti langsung tak sadarkan diri di tempat.
"Ehm, sayangnya ... hari itu aku juga sedang ada acara keluarga." Aku mencoba berbohong. "Kau tahu, resepsi pernikahan kakak sepupuku. Aku tak mungkin hadir di dua tempat secara bersamaan, kan? Jadi, maaf sekali, aku tak bisa memenuhi undanganmu, Jared."
"Apakah kau yakin?"
"Tentu saja," sahutku cepat. "Kenapa tidak?"
"Aku tak yakin," bisiknya. "Kalau begitu, beri aku sebuah pengakuan."
"Peng ... pengakuan apa? Aku tak paham maksudmu."
Memangnya pengakuan apa?
Seingatku aku sama
sekali tak pernah membuat kesalahan padanya. Aku hanya ... jatuh cinta. Itu pun
kalau memang 'jatuh cinta' disebut sebagai satu kesalahan.
"Kau menyukaiku, kan?"
DEG!
Aku terhenyak. Membisu. Tak bersuara sedikit pun. Ekspresiku juga mungkin terlihat begitu tolol saat ini, saking kagetnya.
Bagaimana ia bisa menyimpulkan hal itu? Apakah gerak-gerikku terlalu kentara? Padahal aku telah berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya!
"Itu ... itu hal terbodoh yang pernah kudengar," ucapku akhirnya. "Kau salah besar, Jared, kalau kau berpikir seperti itu. Aku tidak mencintaimu."
"Kalau begitu kau mencintaiku," sahutnya.
Apa-apaan ini?
"Sudah cukup, Jared," ujarku kesal. Aku tak mau berbohong lagi. Lebih baik aku segera menyingkir dari hadapannya agar tak muncul kebohongan yang selanjutnya. "Aku mau pulang."
"Justru aku yang harus bilang 'sudah cukup', Cla. Kepura-puraanmu itu ... sudah cukup," kata Jared. Ia memandangku serius. Mata biru safirnya tampak tak sedang pura-pura.
"Kau menyukaiku, kan?"
DEG!
Aku terhenyak. Membisu. Tak bersuara sedikit pun. Ekspresiku juga mungkin terlihat begitu tolol saat ini, saking kagetnya.
Bagaimana ia bisa menyimpulkan hal itu? Apakah gerak-gerikku terlalu kentara? Padahal aku telah berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya!
"Itu ... itu hal terbodoh yang pernah kudengar," ucapku akhirnya. "Kau salah besar, Jared, kalau kau berpikir seperti itu. Aku tidak mencintaimu."
"Kalau begitu kau mencintaiku," sahutnya.
Apa-apaan ini?
"Sudah cukup, Jared," ujarku kesal. Aku tak mau berbohong lagi. Lebih baik aku segera menyingkir dari hadapannya agar tak muncul kebohongan yang selanjutnya. "Aku mau pulang."
"Justru aku yang harus bilang 'sudah cukup', Cla. Kepura-puraanmu itu ... sudah cukup," kata Jared. Ia memandangku serius. Mata biru safirnya tampak tak sedang pura-pura.
Ia benar-benar
serius.
"Kau benar-benar sudah gila," bisikku.
Aku beranjak berdiri dan meninggalkan meja itu tanpa menyentuh sedikit pun sajiannya. Hanya menyeruput sedikit orange juice, itu pun sudah bermenit-menit yang lalu.
Aku keluar dari Rumah Makan dan tak sedikit pun menoleh ke belakang untuk mengetahui aku sedang dikejar atau tidak. Satu hal yang ada di pikiranku, aku belum siap ditanyai oleh Jared tentang perasaanku. Entah apa yang menghambatku.
Padahal memang sudah jelas bahwa aku memang mencintainya. Mungkin ... mungkin aku takut ia akan menolak perasaanku jika kukatakan yang sejujurnya. Mungkin aku takut ia akan berkata, 'Kuhargai perasaanmu. Tapi aku hanya menganggap hubungan kita sebatas sahabat baik'. Aku penakut? Aku pengecut?
YA!
Cinta itu rumit! Sungguh!
Tapi, atau, justru aku yang membuatnya rumit?
GRAB!
Seseorang menarik lenganku, membuatku tertarik ke belakang. Ia menangkapku ketika aku hampir terjungkal. Sepasang mata biru safir menatap jauh ke dalam mataku.
"Kau benar-benar sudah gila," bisikku.
Aku beranjak berdiri dan meninggalkan meja itu tanpa menyentuh sedikit pun sajiannya. Hanya menyeruput sedikit orange juice, itu pun sudah bermenit-menit yang lalu.
Aku keluar dari Rumah Makan dan tak sedikit pun menoleh ke belakang untuk mengetahui aku sedang dikejar atau tidak. Satu hal yang ada di pikiranku, aku belum siap ditanyai oleh Jared tentang perasaanku. Entah apa yang menghambatku.
Padahal memang sudah jelas bahwa aku memang mencintainya. Mungkin ... mungkin aku takut ia akan menolak perasaanku jika kukatakan yang sejujurnya. Mungkin aku takut ia akan berkata, 'Kuhargai perasaanmu. Tapi aku hanya menganggap hubungan kita sebatas sahabat baik'. Aku penakut? Aku pengecut?
YA!
Cinta itu rumit! Sungguh!
Tapi, atau, justru aku yang membuatnya rumit?
GRAB!
Seseorang menarik lenganku, membuatku tertarik ke belakang. Ia menangkapku ketika aku hampir terjungkal. Sepasang mata biru safir menatap jauh ke dalam mataku.
Jared.
"Jangan lari. Sudah kubilang, larimu hanya secepat siput," ujarnya kalem.
Aku segera berusaha melepaskan diri darinya, namun ternyata aku tak cukup kuat untuk melawannya. Ia terus mendekapku. Semakin kuat aku berusaha kabur, semakin kuat pula ia berusaha menahanku.
"Aku mau pulang, Jared. Lepaskan aku," ucapku meronta.
"Jangan berpura-pura lagi, Cla," sahutnya. "Sudah cukup pengorbananmu selama ini. Aku tak mau kau terlalu sakit."
Apa maksudnya?
"Kau meracau, Jared. Aku sama sekali tak mengerti maksud bicaramu. Sekarang lepaskan aku atau aku akan teriak agar semua orang menganggap kau akan menculikku. Dan kau akan dihajar," ancamku.
"Menculikmu?" Ia mengerutkan dahi. Aku dapat melihatnya di balik sinar lampu di pertokoan ini. "Ide bagus. Aku tak apa, asalkan kau mengakui perasaanmu padaku."
"Kau benar-benar sudah gila," bisikku. "Sekali lagi kuperingatkan kau, Jared. Lepaskan, atau aku teriak."
"Teriak saja," ujarnya enteng. "Aku tidak takut."
"Aku serius."
"Aku juga."
Ok.
"Jangan lari. Sudah kubilang, larimu hanya secepat siput," ujarnya kalem.
Aku segera berusaha melepaskan diri darinya, namun ternyata aku tak cukup kuat untuk melawannya. Ia terus mendekapku. Semakin kuat aku berusaha kabur, semakin kuat pula ia berusaha menahanku.
"Aku mau pulang, Jared. Lepaskan aku," ucapku meronta.
"Jangan berpura-pura lagi, Cla," sahutnya. "Sudah cukup pengorbananmu selama ini. Aku tak mau kau terlalu sakit."
Apa maksudnya?
"Kau meracau, Jared. Aku sama sekali tak mengerti maksud bicaramu. Sekarang lepaskan aku atau aku akan teriak agar semua orang menganggap kau akan menculikku. Dan kau akan dihajar," ancamku.
"Menculikmu?" Ia mengerutkan dahi. Aku dapat melihatnya di balik sinar lampu di pertokoan ini. "Ide bagus. Aku tak apa, asalkan kau mengakui perasaanmu padaku."
"Kau benar-benar sudah gila," bisikku. "Sekali lagi kuperingatkan kau, Jared. Lepaskan, atau aku teriak."
"Teriak saja," ujarnya enteng. "Aku tidak takut."
"Aku serius."
"Aku juga."
Ok.
"Toloong!
Toloong! Seseorang ingin menculikku! Tolong!!!" teriakku.
Karena kami berdua berada di dekat jalan raya yang ramai, dalam sekejap saja, sudah banyak orang yang bergerombol di sini. Aada yang melepaskanku ~ menarikku, lebih tepatnya ~ dari dekapan Jared. Beberapa pria yang kira-kira berusia tiga puluhan, mungkin ada juga yang empat puluhan awal, atau bahkan masih dua puluhan, mulai menghakimi seseorang ~ Jared.
Jared dikeroyok.
Oh, tidak.
Apa yang telah kulakukan?
Aku berhambur menuju tempat kejadian perkara. Berusaha berteriak sekencang mungkin untuk tidak melanjutkan pengeroyokan itu. Meskipun membutuhkan tenaga yang tak sedikit, akhirnya mereka bubar. Ya, dengan mengatakan kekesalan mereka padaku, karena aku juga mengatakan sesuatu beberapa saat yang lalu.
"Maaf, Pak. Tadi saya panik sekali ketika ada seseorang yang menangkap saya secara tiba-tiba. Tapi ternyata, dia hanya teman saya. Dia bukan penculik. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pak. Saya sangat menyesal."
Karena kami berdua berada di dekat jalan raya yang ramai, dalam sekejap saja, sudah banyak orang yang bergerombol di sini. Aada yang melepaskanku ~ menarikku, lebih tepatnya ~ dari dekapan Jared. Beberapa pria yang kira-kira berusia tiga puluhan, mungkin ada juga yang empat puluhan awal, atau bahkan masih dua puluhan, mulai menghakimi seseorang ~ Jared.
Jared dikeroyok.
Oh, tidak.
Apa yang telah kulakukan?
Aku berhambur menuju tempat kejadian perkara. Berusaha berteriak sekencang mungkin untuk tidak melanjutkan pengeroyokan itu. Meskipun membutuhkan tenaga yang tak sedikit, akhirnya mereka bubar. Ya, dengan mengatakan kekesalan mereka padaku, karena aku juga mengatakan sesuatu beberapa saat yang lalu.
"Maaf, Pak. Tadi saya panik sekali ketika ada seseorang yang menangkap saya secara tiba-tiba. Tapi ternyata, dia hanya teman saya. Dia bukan penculik. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, Pak. Saya sangat menyesal."
"Lain
kali, lihat dulu orangnya, Nona! Jangan terlanjur panik begitu! Ah, merepotkan
saja!"
"Membuang-buang waktu saja! Kau tidak tahu, aku sedang dalam keadaan terburu-buru tadi! Ah, dasar remaja payah!"
Setidaknya, seperti itulah dua ucapan yang tertangkap oleh gendang telingaku. Aku mengucapkan maaf berkali-kali, sampai mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Hargh! Ini semua salahku!
Tiba-tiba terlintas di benakku setelah mereka berlalu.
Jared!
Aku berbalik dan mataku menatap tak percaya mendapati sebuah tubuh terkapar di sana. Tergeletak tak berdaya.
"Jared!" teriakku ~ berhambur ke arahnya.
Kuangkat kepalanya. Kugoyangkan. Kutepuki pipinya ~ agar ia kembali sadar. Betapa kacau dan prihatin keadaannya sekarang ini. Matanya lebam. Ada cairan merah di ujung bibirnya.
Sungguh, ini membuatku takut!
Seharusnya aku tak teriak. Seharusnya aku ikuti saja apa maunya. Seharusnya aku tak bertindak bodoh!
"Jared, bangun!"
Air mataku mulai menetes sekarang. Aku tak kuasa melihat Jared seperti ini! Aku tak ingin Jared terluka seperti ini! Melihat keadaan Jared sangat menyakitkan untukku!
Andai aku dapat menggantikan posisinya ...
"Jared, bangun ..." ucapku lemah di sela isak tangisku. "Aku minta maaf. Ini semua salahku ... Harusnya aku berpikir panjang, bukannya bertindak bodoh seperti itu! Jared, bangun! Aku tak tega melihat keadaanmu ... Maafkan aku ... Seandainya bisa, aku rela bertukar posisi sekarang juga! Jared ... Jared ..."
Aku memeluk kepala itu, erat di dadaku. Tangisku pecah. Aku mendaratkan bibirku di rambutnya berulangkali.
"Jared, bangun, kumohon ... Sadarlah! Aku mencintaimu, Jared. Sangat mencintaimu. Please, bangunlah. Jangan tinggalkan aku. Akan sangat sulit bagiku untuk menemukan orang semenyebalkan dirimu lagi," bisikku, hampir putus asa.
"Membuang-buang waktu saja! Kau tidak tahu, aku sedang dalam keadaan terburu-buru tadi! Ah, dasar remaja payah!"
Setidaknya, seperti itulah dua ucapan yang tertangkap oleh gendang telingaku. Aku mengucapkan maaf berkali-kali, sampai mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka.
Hargh! Ini semua salahku!
Tiba-tiba terlintas di benakku setelah mereka berlalu.
Jared!
Aku berbalik dan mataku menatap tak percaya mendapati sebuah tubuh terkapar di sana. Tergeletak tak berdaya.
"Jared!" teriakku ~ berhambur ke arahnya.
Kuangkat kepalanya. Kugoyangkan. Kutepuki pipinya ~ agar ia kembali sadar. Betapa kacau dan prihatin keadaannya sekarang ini. Matanya lebam. Ada cairan merah di ujung bibirnya.
Sungguh, ini membuatku takut!
Seharusnya aku tak teriak. Seharusnya aku ikuti saja apa maunya. Seharusnya aku tak bertindak bodoh!
"Jared, bangun!"
Air mataku mulai menetes sekarang. Aku tak kuasa melihat Jared seperti ini! Aku tak ingin Jared terluka seperti ini! Melihat keadaan Jared sangat menyakitkan untukku!
Andai aku dapat menggantikan posisinya ...
"Jared, bangun ..." ucapku lemah di sela isak tangisku. "Aku minta maaf. Ini semua salahku ... Harusnya aku berpikir panjang, bukannya bertindak bodoh seperti itu! Jared, bangun! Aku tak tega melihat keadaanmu ... Maafkan aku ... Seandainya bisa, aku rela bertukar posisi sekarang juga! Jared ... Jared ..."
Aku memeluk kepala itu, erat di dadaku. Tangisku pecah. Aku mendaratkan bibirku di rambutnya berulangkali.
"Jared, bangun, kumohon ... Sadarlah! Aku mencintaimu, Jared. Sangat mencintaimu. Please, bangunlah. Jangan tinggalkan aku. Akan sangat sulit bagiku untuk menemukan orang semenyebalkan dirimu lagi," bisikku, hampir putus asa.
"Masih
bisa melucu di keadaan genting seperti ini rupanya," ujar sebuah suara.
Suara Jared!
Kulepaskan dekapanku dan mulai kupandangi wajah dengan mata biru safir itu. Aku lega. Aku senang. Aku bahagia. Jared sadar. Dan ia baik-baik saja.
Ah, tampaknya wajahku terlalu berbinar sehingga membuatnya ikut tersenyum.
"Jared, kau sudah sadar," bisikku.
"Omong-omong, sejak kapan kau mencintaiku, eh?"
Aku tersentak. Ekspresiku berubah seratus delapan puluh derajat ketika aku menyadari sesuatu. Jared mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibirku. Itu artinya, ia tak pingsan. Ia hanya pura-pura pingsan!
"Keterlaluan," desisku. "Leluconmu sama sekali tidak lucu!"
Aku beranjak berdiri dan mulai melangkah menjauhinya. Dapat kudengar suaranya memanggilku di belakang, tapi sama sekali tak kutanggapi. Dia kira dirinya aktor hebat? Berpura-pura seperti itu ... Apa dia tidak tahu kalau aku benar-benar khawatir? Apa dia tidak tahu kalau aku benar-benar takut kehilangannya?
Dasar Jared gila!
Suara Jared!
Kulepaskan dekapanku dan mulai kupandangi wajah dengan mata biru safir itu. Aku lega. Aku senang. Aku bahagia. Jared sadar. Dan ia baik-baik saja.
Ah, tampaknya wajahku terlalu berbinar sehingga membuatnya ikut tersenyum.
"Jared, kau sudah sadar," bisikku.
"Omong-omong, sejak kapan kau mencintaiku, eh?"
Aku tersentak. Ekspresiku berubah seratus delapan puluh derajat ketika aku menyadari sesuatu. Jared mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibirku. Itu artinya, ia tak pingsan. Ia hanya pura-pura pingsan!
"Keterlaluan," desisku. "Leluconmu sama sekali tidak lucu!"
Aku beranjak berdiri dan mulai melangkah menjauhinya. Dapat kudengar suaranya memanggilku di belakang, tapi sama sekali tak kutanggapi. Dia kira dirinya aktor hebat? Berpura-pura seperti itu ... Apa dia tidak tahu kalau aku benar-benar khawatir? Apa dia tidak tahu kalau aku benar-benar takut kehilangannya?
Dasar Jared gila!
Aku
membencimu!
Mempermainkan perasaanku seperti itu ...
Kau kira kau sapa?!
"Cla, maafkan aku ..."
Tiba-tiba saja ia telah tiba di belakangku. Ia berusaha berjalan di sampingku, namun aku tak membiarkan itu terjadi.
Aku berjalan semakin cepat.
"Aku tahu kau marah, tapi ... akhirnya kau mengakui perasaanmu, kan? Ayolah, Cla ... Berhentilah. Kita bicarakan ini semua baik-baik. Yang penting aku sudah tak apa-apa. Benar, kan?"
Aku tetap tak menggubrisnya.
"Cla, hei ..." Ia kembali menarik lenganku ~ mendekapku ~ memandangku. "Kau ... kau menangis?"
Ia menyeka air mataku dengan jemarinya. Tiba-tiba saja seolah aku tersengat listrik dengan jemarinya yang lentik itu mendarat di pipiku. Ia menatapku cemas.
"Kau menangis ketika marah?" ujarnya ~ entah itu berupa pertanyaan atau tebakan.
"Bicaralah, Cla ..." sambungnya. "Aku tak tahu harus bagaimana kalau kau tetap membisu seperti ini, Cla. Please ...."
"kau pikir itu lucu?" ujarku ketus sembari menatapnya tajam.
Mempermainkan perasaanku seperti itu ...
Kau kira kau sapa?!
"Cla, maafkan aku ..."
Tiba-tiba saja ia telah tiba di belakangku. Ia berusaha berjalan di sampingku, namun aku tak membiarkan itu terjadi.
Aku berjalan semakin cepat.
"Aku tahu kau marah, tapi ... akhirnya kau mengakui perasaanmu, kan? Ayolah, Cla ... Berhentilah. Kita bicarakan ini semua baik-baik. Yang penting aku sudah tak apa-apa. Benar, kan?"
Aku tetap tak menggubrisnya.
"Cla, hei ..." Ia kembali menarik lenganku ~ mendekapku ~ memandangku. "Kau ... kau menangis?"
Ia menyeka air mataku dengan jemarinya. Tiba-tiba saja seolah aku tersengat listrik dengan jemarinya yang lentik itu mendarat di pipiku. Ia menatapku cemas.
"Kau menangis ketika marah?" ujarnya ~ entah itu berupa pertanyaan atau tebakan.
"Bicaralah, Cla ..." sambungnya. "Aku tak tahu harus bagaimana kalau kau tetap membisu seperti ini, Cla. Please ...."
"kau pikir itu lucu?" ujarku ketus sembari menatapnya tajam.
"Kau
pikir itu lelucon? Kau pikir kau aktor hebat? Kejadian itu hampir merenggut
nyawamu! Kau hampir saja mati, Jared! Dan kau malah berpura-pura pingsan di
saat genting seperti itu! Bagaimana pikiranku tidak kacau melihatmu dalam
keadaan seperti itu? Kau ini sungguh keterlaluan, Jared! Aku membencimu!"
Jared malah menatapku dengan tatapan sayu. Dan aku berani bersumpah, aku belum pernah mendapati tatapan Jared yang seperti ini sebelumnya ~ kepadaku. Dan aku sama sekali tak mengerti.
"Kau mengkhawatirkanku," ucapnya lirih. Aku tetap menatapnya. "Kau menangis untukku. Kau takut kehilanganku. Kau tak membenciku. Kau mencintaiku."
"Aku benar?" sambungnya.
Mataku kembali perih. Aku tak ingin berbohong lagi. Air mata kembali menetes sehingga kualihkan pandanganku.
Aku menggeleng.
"Kau masih belum jujur, Cla. Tatap aku. Kalau kau memang tidak mencintaiku, tatap mataku, dan katakan. Katakan kau tak mencintaiku. Cla, lakukan. Lakukan!"
Ia berteriak. Mengangkat wajahku hingga mataku bisa bertemu dengan tatapannya.
"Aku ... aku ... aku ..."
Cairan bening dari sudut mataku terus meleleh, tak kunjung berhenti. Aku ingin mengatakan perasaanku, namun sekejap kemudian bayangan Clara hadir di benakku.
'Aku mencintainya, Sita! Aku mencintai Jased!' pekik Clara dalam bayanganku.
Hal ini mengiris hatiku.
"Aku ... aku tidak mencintaimu, Jared." Aku langsung menubruk tubuh Jared ~ memeluknya. "Aku tidak mencintaimu."
Kurasakan dekapan itu semakin erat. Meskipun aku hampir sulit bernapas, aku tak peduli. Aku sudah tak tahan lagi memendamnya. Biarlah lisanku berkata 'aku tidak cinta' namun hati berkata 'aku cinta'.
"Kau tak pernah pandai berbohong, Cla," responnya. Ia mengecup puncak kepalaku. "Kau payah."
Lalu, kau? Bagaimana dengan perasaanmu? batinku menjerit. Tapi ... haruskah aku tahu? Jika ia tak mencintaiku, kenapa ia terus berkeras untuk memberitahukan perasaanku padanya? Apa untungnya baginya? Merasa bangga karena dicintai dua gadis sekaligus?
"Kuantar kau pulang," lanjutnya.
***
Jared malah menatapku dengan tatapan sayu. Dan aku berani bersumpah, aku belum pernah mendapati tatapan Jared yang seperti ini sebelumnya ~ kepadaku. Dan aku sama sekali tak mengerti.
"Kau mengkhawatirkanku," ucapnya lirih. Aku tetap menatapnya. "Kau menangis untukku. Kau takut kehilanganku. Kau tak membenciku. Kau mencintaiku."
"Aku benar?" sambungnya.
Mataku kembali perih. Aku tak ingin berbohong lagi. Air mata kembali menetes sehingga kualihkan pandanganku.
Aku menggeleng.
"Kau masih belum jujur, Cla. Tatap aku. Kalau kau memang tidak mencintaiku, tatap mataku, dan katakan. Katakan kau tak mencintaiku. Cla, lakukan. Lakukan!"
Ia berteriak. Mengangkat wajahku hingga mataku bisa bertemu dengan tatapannya.
"Aku ... aku ... aku ..."
Cairan bening dari sudut mataku terus meleleh, tak kunjung berhenti. Aku ingin mengatakan perasaanku, namun sekejap kemudian bayangan Clara hadir di benakku.
'Aku mencintainya, Sita! Aku mencintai Jased!' pekik Clara dalam bayanganku.
Hal ini mengiris hatiku.
"Aku ... aku tidak mencintaimu, Jared." Aku langsung menubruk tubuh Jared ~ memeluknya. "Aku tidak mencintaimu."
Kurasakan dekapan itu semakin erat. Meskipun aku hampir sulit bernapas, aku tak peduli. Aku sudah tak tahan lagi memendamnya. Biarlah lisanku berkata 'aku tidak cinta' namun hati berkata 'aku cinta'.
"Kau tak pernah pandai berbohong, Cla," responnya. Ia mengecup puncak kepalaku. "Kau payah."
Lalu, kau? Bagaimana dengan perasaanmu? batinku menjerit. Tapi ... haruskah aku tahu? Jika ia tak mencintaiku, kenapa ia terus berkeras untuk memberitahukan perasaanku padanya? Apa untungnya baginya? Merasa bangga karena dicintai dua gadis sekaligus?
"Kuantar kau pulang," lanjutnya.
***
"Astaga!
Kalian dirampok?" pekik Austin sedetik setelah membukakan pintu rumah
untuk aku dan Jared. "Ayo, masuk, masuk! Obati lukamu!"
"Well, lebih tepatnya, adik kecilmu yang hampir saja membunuhku, Austin," lapor Jared.
"Kalau bukan gara-gara kau, tak mungkin aku berteriak!" elakku ~ tak ingin menjadi satu-satunya tersangka di sini.
"Oh, benarkah?" sahut Jared.
Menyebalkan sekali. Belum juga sembuh lukanya, sudah mau membuat gara-gara lagi?
"Baiklah, biar kuambilkan air es di kulkas untuk mengompres lukamu. Sepertinya tadh pagi aku meletakkan beberapa." Austin berlalu ke dalam, sedangkan aku dan Jared duduk di sofa ruang tamu.
Entahlah, atmosfernya menjadi berbeda sekarang, seperti ada jarak yang jauh antara aku dan Jared. Di mobil beberapa saat yang lalu juga kami saling diam.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Cla?" tanya Jared ~ berusaha mencairkan suasana.
"Ah, tidak ada. Hanya ... Aku tidak apa-apa," jawabku.
"Sudah kubilang kau tak pandai berbohong," sahutnya. "Harus berapa kali aku
"Well, lebih tepatnya, adik kecilmu yang hampir saja membunuhku, Austin," lapor Jared.
"Kalau bukan gara-gara kau, tak mungkin aku berteriak!" elakku ~ tak ingin menjadi satu-satunya tersangka di sini.
"Oh, benarkah?" sahut Jared.
Menyebalkan sekali. Belum juga sembuh lukanya, sudah mau membuat gara-gara lagi?
"Baiklah, biar kuambilkan air es di kulkas untuk mengompres lukamu. Sepertinya tadh pagi aku meletakkan beberapa." Austin berlalu ke dalam, sedangkan aku dan Jared duduk di sofa ruang tamu.
Entahlah, atmosfernya menjadi berbeda sekarang, seperti ada jarak yang jauh antara aku dan Jared. Di mobil beberapa saat yang lalu juga kami saling diam.
"Apa yang tengah kau pikirkan, Cla?" tanya Jared ~ berusaha mencairkan suasana.
"Ah, tidak ada. Hanya ... Aku tidak apa-apa," jawabku.
"Sudah kubilang kau tak pandai berbohong," sahutnya. "Harus berapa kali aku
mengatakannya
padamu?"
"Menurutmu?"
"Sepanjang hidupmu?" sahutnya lagi. "Oh, ayolah. Aku sudah tahu perasaanmu. Apakah kau tak ingin tahu perasaanku?"
Ya!
Maksudku, tidak.
Aku hanya tidak ingin kecewa setelah mendengarnya.
"Tidak," jawabku. "Aku sudah tahu."
"Air es datang!" seru Austin dari dalam. Ia membawa baskom berisi air dengan sebuah sapu tangan. "Aku bertanya-tanya, apakah harus aku juga yang mengompresmu, Jared?"
Austin memang menujukan kalimatnya untuk Jared, tapi lirikan matanya tertuju ke arahku, seolah ia menyiratkan sesuatu padaku.
"Well, well ... Kurasa kau harus pergi masuk ke dalam, Kak, sebelum air ini tumpah di atas kepalamu," ucapku sinis.
"Oh, induk ayam mulai mengamuk rupanya. Baiklah, aku masuk. Sampai jumpa!" pamitnya kemudian melenggang masuk kembali.
Induk ayam?!
Seenaknya saja mengata-ngataiku seperti itu. Lihat saja nanti!
Aku meraih sapu tangan yang telah diletakkan di atas meja. Kucelupkan sejenak ke dalam air es dan kemudian mulai mengompres wajah Jared.
"Menurutmu?"
"Sepanjang hidupmu?" sahutnya lagi. "Oh, ayolah. Aku sudah tahu perasaanmu. Apakah kau tak ingin tahu perasaanku?"
Ya!
Maksudku, tidak.
Aku hanya tidak ingin kecewa setelah mendengarnya.
"Tidak," jawabku. "Aku sudah tahu."
"Air es datang!" seru Austin dari dalam. Ia membawa baskom berisi air dengan sebuah sapu tangan. "Aku bertanya-tanya, apakah harus aku juga yang mengompresmu, Jared?"
Austin memang menujukan kalimatnya untuk Jared, tapi lirikan matanya tertuju ke arahku, seolah ia menyiratkan sesuatu padaku.
"Well, well ... Kurasa kau harus pergi masuk ke dalam, Kak, sebelum air ini tumpah di atas kepalamu," ucapku sinis.
"Oh, induk ayam mulai mengamuk rupanya. Baiklah, aku masuk. Sampai jumpa!" pamitnya kemudian melenggang masuk kembali.
Induk ayam?!
Seenaknya saja mengata-ngataiku seperti itu. Lihat saja nanti!
Aku meraih sapu tangan yang telah diletakkan di atas meja. Kucelupkan sejenak ke dalam air es dan kemudian mulai mengompres wajah Jared.
Aku
berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap matanya karena itu jelas akan
membuatku semakin salah tingkah.
"Kau gemetar," ujarnya.
"Oh, ya?" responku sambil lalu. Berusaha fokus pada luka lebamnya.
"Ya," jawabnya.
"Cla?" panggilnya.
"Ya?"
"Boleh mengatakan sesuatu?"
"Ini negara bebas," jawabku.
"Aku mencintaimu."
Seketika sapuan kompresanku berhenti. Mendadak aku jadi ingin menatap matanya untuk mencari kebenaran dalam kata-katanya. Dan benar, ia tampak serius kali ini. Ia sedang tidak bergurau.
"Kau sedang mengerjaiku?" responku.
"Apa aku terlihat seperti itu?"
Tidak, sih ...
"Tapi, Clara?"
Ia mendadak diam. Menunduk. Apa yang sedang dipikirkannya?
"Ini salahku," ucapnya. "Seharusnya aku tak pernah melibatkannya sejak awal."
"Jared, apa maksudmu?" tanyaku. "Aku tak mengerti sama sekali."
"Well, sebenarnya, aku tak pernah tertarik sedikit pun pada Clara," bisiknya pelan. "Aku ... aku telah mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Sejak aku pindah ke daerah ini.
"Kau gemetar," ujarnya.
"Oh, ya?" responku sambil lalu. Berusaha fokus pada luka lebamnya.
"Ya," jawabnya.
"Cla?" panggilnya.
"Ya?"
"Boleh mengatakan sesuatu?"
"Ini negara bebas," jawabku.
"Aku mencintaimu."
Seketika sapuan kompresanku berhenti. Mendadak aku jadi ingin menatap matanya untuk mencari kebenaran dalam kata-katanya. Dan benar, ia tampak serius kali ini. Ia sedang tidak bergurau.
"Kau sedang mengerjaiku?" responku.
"Apa aku terlihat seperti itu?"
Tidak, sih ...
"Tapi, Clara?"
Ia mendadak diam. Menunduk. Apa yang sedang dipikirkannya?
"Ini salahku," ucapnya. "Seharusnya aku tak pernah melibatkannya sejak awal."
"Jared, apa maksudmu?" tanyaku. "Aku tak mengerti sama sekali."
"Well, sebenarnya, aku tak pernah tertarik sedikit pun pada Clara," bisiknya pelan. "Aku ... aku telah mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Sejak aku pindah ke daerah ini.
Aku melihatmu
berdiri sendirian di atas balkon. Semenjak itu, aku telah jatuh hati padamu,
Cla."
Tidak mungkin.
"Aku ... aku hanya mencari bahan supaya aku bisa mendekatimu, Cla," lanjutnya. "Dan kebetulan, pagi itu, mendadak terfikirkan hal itu olehku. Aku ... aku minta maaf, Cla, kalau selama ini kau merasa dibohongi. Maafkan aku, Cla. Semua itu kulakukan semata-mata agar aku dapat terus bersamamu."
Ini di luar dugaanku. Bagaimana mungkin? Jared tidak mencintai Clara, tapi ... aku?
Memang ada suatu rasa kelegaan tersendiri di lubuk hati terdalam ketika mengetahui fakta ini. Namun tetap saja, ini tidak adil. Ia mempermainkan perasaan orang lain demi kepentingannya sendiri! Apakah itu tidak egois namanya!?
Padahal aku tahu, Clara telah terlanjur jatuh cinta pada Jared ... Kenapa Jared tak berpikir hingga ke arah sana? Ia telah menyakiti hati perempuan! Dua sekaligus. Aku dan Clara.
"Kau adalah orang terjahat yang pernah kutemui," geramku. Kulemparkan sapu tangan yang tadi kugunakan untuk mengompres
Tidak mungkin.
"Aku ... aku hanya mencari bahan supaya aku bisa mendekatimu, Cla," lanjutnya. "Dan kebetulan, pagi itu, mendadak terfikirkan hal itu olehku. Aku ... aku minta maaf, Cla, kalau selama ini kau merasa dibohongi. Maafkan aku, Cla. Semua itu kulakukan semata-mata agar aku dapat terus bersamamu."
Ini di luar dugaanku. Bagaimana mungkin? Jared tidak mencintai Clara, tapi ... aku?
Memang ada suatu rasa kelegaan tersendiri di lubuk hati terdalam ketika mengetahui fakta ini. Namun tetap saja, ini tidak adil. Ia mempermainkan perasaan orang lain demi kepentingannya sendiri! Apakah itu tidak egois namanya!?
Padahal aku tahu, Clara telah terlanjur jatuh cinta pada Jared ... Kenapa Jared tak berpikir hingga ke arah sana? Ia telah menyakiti hati perempuan! Dua sekaligus. Aku dan Clara.
"Kau adalah orang terjahat yang pernah kutemui," geramku. Kulemparkan sapu tangan yang tadi kugunakan untuk mengompres
lukanya
ke wajahnya. Ia berhak menerimanya.
"Maafkan aku, Cla," ucapnya memelas. "Ini semua kulakukan karena aku mencintaimu. Aku mendekati Clara karena aku ingin tahu bagaimana responmu. Cemburukah? Dan dari sanalah aku bisa menyimpulkan, kau mencintaiku atau tidak."
"Kalau kau benar mencintaiku, kau tak akan pernah menyakiti hati sahabatku, Jared," ucapku geram. "Kau memberinya harapan, namun kau juga yang memupuskannya. Apakah kau tak sadar betapa egoisnya dirimu, Jared?"
"Aku tahu ini semua salahku, Cla. Tapi kumohon ... jangan marah padaku ... Duniaku serasa kiamat dengan hadirnya kemarahanmu di sana. Aku serius, Cla," ucapnya.
Aku menggeleng pelan.
"Bukan padaku seharusnya kau meminta maaf, Jared. Melainkan sahabatku," kataku sinis. "Jared, kurasa semua ini harus berakhir. Kau tak perlu mencintaiku. Kau harus pertanggungjawabkan kelakuanmu. Clara sudah terlanjur jatuh cinta padamu, kau tahu!"
"Aku tidak bisa, Cla," sahutnya. "Kau tahu, kan, cinta ini sudah menjadi milikmu sejak awal.
"Maafkan aku, Cla," ucapnya memelas. "Ini semua kulakukan karena aku mencintaimu. Aku mendekati Clara karena aku ingin tahu bagaimana responmu. Cemburukah? Dan dari sanalah aku bisa menyimpulkan, kau mencintaiku atau tidak."
"Kalau kau benar mencintaiku, kau tak akan pernah menyakiti hati sahabatku, Jared," ucapku geram. "Kau memberinya harapan, namun kau juga yang memupuskannya. Apakah kau tak sadar betapa egoisnya dirimu, Jared?"
"Aku tahu ini semua salahku, Cla. Tapi kumohon ... jangan marah padaku ... Duniaku serasa kiamat dengan hadirnya kemarahanmu di sana. Aku serius, Cla," ucapnya.
Aku menggeleng pelan.
"Bukan padaku seharusnya kau meminta maaf, Jared. Melainkan sahabatku," kataku sinis. "Jared, kurasa semua ini harus berakhir. Kau tak perlu mencintaiku. Kau harus pertanggungjawabkan kelakuanmu. Clara sudah terlanjur jatuh cinta padamu, kau tahu!"
"Aku tidak bisa, Cla," sahutnya. "Kau tahu, kan, cinta ini sudah menjadi milikmu sejak awal.
Aku
tak bisa berpindah hati secepat itu. Lagipula aku tidak berminat. Dan ... kau
mencintaiku, Cla. Kau telah mengakuinya, kan? Tapi, kenapa kau harus memintaku
untuk meninggalkanmu?"
"Ini tindakan paling pengecut yang pernah kutemui." Kualihkan pandanganku menuju pintu masuk.
JDUAR!
Petir mulai menyambar di luar sana. Namun bukan hal itu yang menarik perhatianku. Sosok seorang gadis sedang berdiri mematung di ambang pintu. Tatapannya nanar di balik sorotan neon halaman rumah, seolah ingin menangis karena menyimpan rasa sakit yang teramat dalam.
"Clara," bisikku. Aku beranjak berdiri.
"Ehm, hai," sapanya ~ berusaha tampak baik-baik saja. Ia juga berpura-pura tersenyum di hadapan kami. Mungkin menurutnya hal itu akan berhasil menutupi perasaannya yang sebenarnya. Namun menurutku hal itu justru tampak sangat palsu.
"Oh, hai, Jared. Kau di sini juga rupanya." Clara beranjak masuk ke dalam rumah. "Aku ... aku hanya ingin mengembalikan catatan milikmu, Sita. Terima kasih. Aku telah menyalin semuanya."
"Ini tindakan paling pengecut yang pernah kutemui." Kualihkan pandanganku menuju pintu masuk.
JDUAR!
Petir mulai menyambar di luar sana. Namun bukan hal itu yang menarik perhatianku. Sosok seorang gadis sedang berdiri mematung di ambang pintu. Tatapannya nanar di balik sorotan neon halaman rumah, seolah ingin menangis karena menyimpan rasa sakit yang teramat dalam.
"Clara," bisikku. Aku beranjak berdiri.
"Ehm, hai," sapanya ~ berusaha tampak baik-baik saja. Ia juga berpura-pura tersenyum di hadapan kami. Mungkin menurutnya hal itu akan berhasil menutupi perasaannya yang sebenarnya. Namun menurutku hal itu justru tampak sangat palsu.
"Oh, hai, Jared. Kau di sini juga rupanya." Clara beranjak masuk ke dalam rumah. "Aku ... aku hanya ingin mengembalikan catatan milikmu, Sita. Terima kasih. Aku telah menyalin semuanya."
Ia
telah tiba di sampingku, dan tanpa kusadari aku menitikkan air mata ketika
melihatnya seperti ini. Ia menyerahkan buku bersampul cokelat itu ke arahku.
"Ah, ya, Jared. Kebetulan kau di sini. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu," kata Clara memandang Jared ~ tetap berusaha tampil baik-baik saja. Kurasa aku berubah pikiran, kau tahu, pesta itu. Mom mengajakku berkunjung ke rumah Grandma. Aku tak mungkin bisa hadir di dua tempat sekaligus, kan? Jadi, maaf, aku tidak dapat pergi denganmu, Jared. Dan ... well, aku harus pulang. Sudah terlalu malam. Mom akan mengunciku di luar kalau aku terlambat. Selamat malam! Chao!"
Clara berbalik. Ia berjalan dengan tergesa dan menunduk. Pasti air matanya juga mulai tumpah.
Aku memandang Jared sejenak. Ia tampak bingung bagaimana harus bersikap. 'Ini semua salahmu!' batinku kesal.
Sedetik kemudian aku beranjak. Aku berlari mengejar Clara. Namun ketika aku telah tiba di halaman, bayangannya sudah lenyap. Clara berlari. Ia pasti sangat marah, dan sedih.
"Ah, ya, Jared. Kebetulan kau di sini. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu," kata Clara memandang Jared ~ tetap berusaha tampil baik-baik saja. Kurasa aku berubah pikiran, kau tahu, pesta itu. Mom mengajakku berkunjung ke rumah Grandma. Aku tak mungkin bisa hadir di dua tempat sekaligus, kan? Jadi, maaf, aku tidak dapat pergi denganmu, Jared. Dan ... well, aku harus pulang. Sudah terlalu malam. Mom akan mengunciku di luar kalau aku terlambat. Selamat malam! Chao!"
Clara berbalik. Ia berjalan dengan tergesa dan menunduk. Pasti air matanya juga mulai tumpah.
Aku memandang Jared sejenak. Ia tampak bingung bagaimana harus bersikap. 'Ini semua salahmu!' batinku kesal.
Sedetik kemudian aku beranjak. Aku berlari mengejar Clara. Namun ketika aku telah tiba di halaman, bayangannya sudah lenyap. Clara berlari. Ia pasti sangat marah, dan sedih.
Oh, tidak.
Aku harus segera menyusulnya.
Setelah tiba di gerbang, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari tanda-tanda keberadaannya. Dan sesekon kemudian ekor mataku mendapati sebuah bayangan yang kuyakini adalah Clara.
Aku segera mengambil langkah seribu. Kupacu sekuat yang aku bisa. Aku harus bisa mengejarnya.
"Clara!" panggilku saat kami telah berjarak satu meter. Ia berhenti, namun tak segera berbalik. Ia menunduk. Badannya gemetar.
Aku ingin sekali segera memeluknya, tapi aku takut ia marah padaku.
"Clara. Aku ... aku minta maaf," ucapku. "Semuanya tak seperti yang kau kira. Mungkin, kalau kau memberiku kesempatan, aku bisa menjelaskan semuanya padamu."
Ia tetap tak bergeming.
"Mungkin kau marah padaku, Clara. Aku ... aku mengerti, tapi ..."
"Cukup, Sita," sahutnya. Ada getaran dalam nada suaranya. Pasti ia sedang menahan emosinya. "Cukup."
Sekarang, ganti aku yang membisu.
Clara mengangkat kepalanya, bahunya bergerak ke atas ~ sepertinya ia menghela napas.
Aku harus segera menyusulnya.
Setelah tiba di gerbang, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari tanda-tanda keberadaannya. Dan sesekon kemudian ekor mataku mendapati sebuah bayangan yang kuyakini adalah Clara.
Aku segera mengambil langkah seribu. Kupacu sekuat yang aku bisa. Aku harus bisa mengejarnya.
"Clara!" panggilku saat kami telah berjarak satu meter. Ia berhenti, namun tak segera berbalik. Ia menunduk. Badannya gemetar.
Aku ingin sekali segera memeluknya, tapi aku takut ia marah padaku.
"Clara. Aku ... aku minta maaf," ucapku. "Semuanya tak seperti yang kau kira. Mungkin, kalau kau memberiku kesempatan, aku bisa menjelaskan semuanya padamu."
Ia tetap tak bergeming.
"Mungkin kau marah padaku, Clara. Aku ... aku mengerti, tapi ..."
"Cukup, Sita," sahutnya. Ada getaran dalam nada suaranya. Pasti ia sedang menahan emosinya. "Cukup."
Sekarang, ganti aku yang membisu.
Clara mengangkat kepalanya, bahunya bergerak ke atas ~ sepertinya ia menghela napas.
Sedetik
kemudian ia berbalik. Dapat kulihat matanya sembab, namun tak ada air mata.
Mungkin ia telah menyekanya.
Ia tersenyum padaku.
"Kenapa kau harus meminta maaf? Memangnya kau salah apa?" tanyanya. Ia berjalan mendekatiku. "Justru aku yang seharusnya minta maaf padamu, Sita. Aku telah terlalu egois selama ini. Maafkan aku, Sita."
"Seharusnya aku tahu kalau kalian saling mencintai," lanjutnya. "Kalian sering bersama. Aku saja yang terlalu bodoh. Terlalu berharap pada sesuatu yang belum jelas. Seharusnya aku mengerti apa arti tatapan kalian. Aku benar-benar payah!"
"Clara ..."
"Sssh!" Clara mengisyaratkanku untuk tak bicara. Matanya terpejam saat ia mengangkat telapak tangannya. "Cukup, Sita. Kali ini, biarkan aku bicara. Jangan menyelaku."
Clara mulai membuka kembali matanya.
"Semua pengorbananmu itu ... harusnya juga sudah cukup, Sita. Lagi-lagi kau mengorbankan perasaanmu untukku. Dulu, kau menyerahkan Thomas padaku, padahal sebenarnya, aku tahu kau begitu mencintainya. Lalu, sekarang, Jared.
Ia tersenyum padaku.
"Kenapa kau harus meminta maaf? Memangnya kau salah apa?" tanyanya. Ia berjalan mendekatiku. "Justru aku yang seharusnya minta maaf padamu, Sita. Aku telah terlalu egois selama ini. Maafkan aku, Sita."
"Seharusnya aku tahu kalau kalian saling mencintai," lanjutnya. "Kalian sering bersama. Aku saja yang terlalu bodoh. Terlalu berharap pada sesuatu yang belum jelas. Seharusnya aku mengerti apa arti tatapan kalian. Aku benar-benar payah!"
"Clara ..."
"Sssh!" Clara mengisyaratkanku untuk tak bicara. Matanya terpejam saat ia mengangkat telapak tangannya. "Cukup, Sita. Kali ini, biarkan aku bicara. Jangan menyelaku."
Clara mulai membuka kembali matanya.
"Semua pengorbananmu itu ... harusnya juga sudah cukup, Sita. Lagi-lagi kau mengorbankan perasaanmu untukku. Dulu, kau menyerahkan Thomas padaku, padahal sebenarnya, aku tahu kau begitu mencintainya. Lalu, sekarang, Jared.
Kenapa
kau sama sekali tak berusaha menahan mereka, sih? Apakah itu yang namanya
cinta, ha? Aku sama sekali tak mengerti jalan pikiranmu, Sita!"
Ia memandangku dengan ekspresi ... entah itu putus asa, atau marah. Aku tak dapat mendeskripsikannya. Terlalu complicated. Sulit.
"Saat itu, Thomas dan kau, saling jatuh cinta, benar? Memang, Thomas masih kekasihku ketika aku mengenalkannya padamu. Tapi, hari demi hari berlalu, dan aku mulai merasa ada yang aneh. Baik pada Thomas, ataupun padamu. Aku ... aku mulai merasa Thomas tak bahagia lagi ketika bersamaku, kemudian aku mulai menyelidiki. Kau tahu, kan, naluri detektifku akan muncul di saat-saat seperti itu. Dan akhirnya aku tahu, wajah bahagia Thomas kembali muncul saat ia bersamamu," terangku.
Air mata Clara menggenang. Aku ingin sekali menghapusnya. Tapi aku ingin membuatnya mengerti. Aku ingin menjelaskan semuanya agar ia tak salah paham padaku.
"Sakit memang. Tapi harus bagaimana lagi? Banyak orang berkata: jika memang cinta, pertahankan.
Ia memandangku dengan ekspresi ... entah itu putus asa, atau marah. Aku tak dapat mendeskripsikannya. Terlalu complicated. Sulit.
"Saat itu, Thomas dan kau, saling jatuh cinta, benar? Memang, Thomas masih kekasihku ketika aku mengenalkannya padamu. Tapi, hari demi hari berlalu, dan aku mulai merasa ada yang aneh. Baik pada Thomas, ataupun padamu. Aku ... aku mulai merasa Thomas tak bahagia lagi ketika bersamaku, kemudian aku mulai menyelidiki. Kau tahu, kan, naluri detektifku akan muncul di saat-saat seperti itu. Dan akhirnya aku tahu, wajah bahagia Thomas kembali muncul saat ia bersamamu," terangku.
Air mata Clara menggenang. Aku ingin sekali menghapusnya. Tapi aku ingin membuatnya mengerti. Aku ingin menjelaskan semuanya agar ia tak salah paham padaku.
"Sakit memang. Tapi harus bagaimana lagi? Banyak orang berkata: jika memang cinta, pertahankan.
Jangan
pernah biarkan ia terlepas darimu. Namun bagiku, cinta itu tak harus memiliki.
Terkadang kita memang harus melepaskan, bukan karena kita tak lagi cinta,
melainkan karena kita tahu ia akan lebih bahagia jika ia tak lagi bersama
kita," lanjutku.
"Dari mana kau mendapatkan opini bodoh seperti itu, ha?" Clara memelukku. Air matanya tumpah lagi. Kali ini lebih deras. "Kau sungguh bodoh, Sita."
Aku tertawa di sela isak tangisku.
"Dari sebuah film Bollywood yang pernah kita tonton," jawabku. Ia ikut tertawa.
"Sekarang dengarkan aku, Sita." Clara menarik dirinya dan menatapku tajam. "Karma itu berlaku. Dulu, aku merebut Thomas darimu. Sekarang, seseorang juga merebut Thomas dariku. Dan ... ya, aku tahu sekarang, bagaimana perasaanmu waktu itu. Aku baru menyadarinya. Terdengar bodoh, benar? Aku salut padamu, karena setelah kejadian itu, kau masih mau bersahabat denganku. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Yang aku tahu, waktu itu, aku dan Thomas saling mencintai, dan aku bahagia.
"Dari mana kau mendapatkan opini bodoh seperti itu, ha?" Clara memelukku. Air matanya tumpah lagi. Kali ini lebih deras. "Kau sungguh bodoh, Sita."
Aku tertawa di sela isak tangisku.
"Dari sebuah film Bollywood yang pernah kita tonton," jawabku. Ia ikut tertawa.
"Sekarang dengarkan aku, Sita." Clara menarik dirinya dan menatapku tajam. "Karma itu berlaku. Dulu, aku merebut Thomas darimu. Sekarang, seseorang juga merebut Thomas dariku. Dan ... ya, aku tahu sekarang, bagaimana perasaanmu waktu itu. Aku baru menyadarinya. Terdengar bodoh, benar? Aku salut padamu, karena setelah kejadian itu, kau masih mau bersahabat denganku. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Yang aku tahu, waktu itu, aku dan Thomas saling mencintai, dan aku bahagia.
Kau
pun terlihat baik-baik saja. Jadi, kupikir ..."
"Semuanya memang terdengar hebat bila kau melukiskannya dari sudut pandangmu, Clara," selaku. "Tapi faktanya aku tak sehebat itu. Aku ... sebenarnya aku sempat membencimu. Aku ... aku minta maaf."
"Tapi lagi-lagi, kau masih mau bersahabat denganku," sahutnya. "Aku saja tak akan pernah mau memaafkan seseorang yang telah merebut Thomas sekarang, Sita. Aku membencinya, kau tahu. Sebenarnya aku heran, kenapa kau bisa memaafkanku dan tetap menganggapku sebagai sahabatmu?"
"Tentu saja karena opini bodoh itu," sahutku, sedikit bangga sebenarnya.
"Ah, kau ini," komentarnya dengan tersenyum. "Dan ... well, aku tak mau aku terkena karma lagi karena telah merebut sesuatu yang menjadi milikmu, Sita. Itu ... itu mengerikan, kau tahu."
"Dia belum menjadi milikku," elakku.
"Tapi cintanya sudah," sahutnya. "Dengar, dia mencintaimu begitu tulus. Bahkan meskipun ada aku ~ yang memang sebenarnya lebih cantik darimu ini ~ di dekatnya, ia tak pernah sedikit pun tertarik padaku. Ia tetap memilihmu, Sita. Apakah kau masih meragukannya?"
Di saat seperti ini, ia masih saja agak membanggakan dirinya sendiri -_- Dasar Clara! But, yeaa ... Aku senang ia kembali! Dan ia mulai menampakkan wajah cerianya kembali!
"Tapi kau mencintainya," kataku pelan.
"Aku bisa mendapatkan yang lebih baik. Aku kan cantik, remember?" ujarnya ge-er sekali lagi.
"Ya, ya, ya ... Tapi,"
"Kau mencintainya, kan, Sita?"
Aku terdiam.
"Oh, ayolah! Jangan berbohong lagi! Aku sudah tahu semuanya!" serunya. "Classita, dengarkan aku lagi. Sekarang saatnya kau berbahagia. Jangan pernah lagi kau korbankan perasaanmu. Mengerti?"
"Tapi kau baru saja melakukannya."
"Oh, ehmb, yea, benar. Tapi cukup sekali ini saja. Tak ada lain kali," katanya.
"Apakah ini tak menyakitimu?" tanyaku takut-takut.
"Berhenti mengkhawatirkanku, Sita," protesnya. "Aku janji, aku akan selalu baik-baik saja. Nah, sekarang berbaliklah. Pangeranmu telah menunggu."
"Semuanya memang terdengar hebat bila kau melukiskannya dari sudut pandangmu, Clara," selaku. "Tapi faktanya aku tak sehebat itu. Aku ... sebenarnya aku sempat membencimu. Aku ... aku minta maaf."
"Tapi lagi-lagi, kau masih mau bersahabat denganku," sahutnya. "Aku saja tak akan pernah mau memaafkan seseorang yang telah merebut Thomas sekarang, Sita. Aku membencinya, kau tahu. Sebenarnya aku heran, kenapa kau bisa memaafkanku dan tetap menganggapku sebagai sahabatmu?"
"Tentu saja karena opini bodoh itu," sahutku, sedikit bangga sebenarnya.
"Ah, kau ini," komentarnya dengan tersenyum. "Dan ... well, aku tak mau aku terkena karma lagi karena telah merebut sesuatu yang menjadi milikmu, Sita. Itu ... itu mengerikan, kau tahu."
"Dia belum menjadi milikku," elakku.
"Tapi cintanya sudah," sahutnya. "Dengar, dia mencintaimu begitu tulus. Bahkan meskipun ada aku ~ yang memang sebenarnya lebih cantik darimu ini ~ di dekatnya, ia tak pernah sedikit pun tertarik padaku. Ia tetap memilihmu, Sita. Apakah kau masih meragukannya?"
Di saat seperti ini, ia masih saja agak membanggakan dirinya sendiri -_- Dasar Clara! But, yeaa ... Aku senang ia kembali! Dan ia mulai menampakkan wajah cerianya kembali!
"Tapi kau mencintainya," kataku pelan.
"Aku bisa mendapatkan yang lebih baik. Aku kan cantik, remember?" ujarnya ge-er sekali lagi.
"Ya, ya, ya ... Tapi,"
"Kau mencintainya, kan, Sita?"
Aku terdiam.
"Oh, ayolah! Jangan berbohong lagi! Aku sudah tahu semuanya!" serunya. "Classita, dengarkan aku lagi. Sekarang saatnya kau berbahagia. Jangan pernah lagi kau korbankan perasaanmu. Mengerti?"
"Tapi kau baru saja melakukannya."
"Oh, ehmb, yea, benar. Tapi cukup sekali ini saja. Tak ada lain kali," katanya.
"Apakah ini tak menyakitimu?" tanyaku takut-takut.
"Berhenti mengkhawatirkanku, Sita," protesnya. "Aku janji, aku akan selalu baik-baik saja. Nah, sekarang berbaliklah. Pangeranmu telah menunggu."
Aku tersentak
ketika Clara mengucapkan kalimat terakhirnya. Pangeranku telah menunggu.
Benar saja. Ketika aku berbalik, seseorang terlihat berlari-lari menuju arah kami. Ia berhenti ketika jaraknya terpisah satu meter denganku.
Mata biru safirnya tak begitu kentara di malam yang gelap ini, namun aku bisa menangkap ekspresinya. Ia memandang bingung ke arah kami berdua.
"Aku sudah memaafkanmu, Jared," ujar Clara tiba-tiba. "Baiklah, kurasa aku harus pulang. Daaah!"
Saat Clara berbalik, secara kilat Jared meraih lengannya. Membuatku dan Clara terkesiap melihat tingkahnya. Kenapa ia melakukannya? Tak rela melepaskan Clara? Lalu, kenapa ia bilang ia mencintaiku sebelumnya? Permainan apa lagi ini?
"Ehmb, sori. Apakah kau keberatan kalau aku memintamu segera menyingkirkan tanganmu dari lenganku?" ucap Clara.
Jared melepaskannya.
"Terima kasih, Clara," ucapnya sesekon kemudian. "Maaf, kalau sikapku menyakitimu."
"Seingatku, aku telah memaafkanmu," ucapnya.
Jared mengulurkan tangan kanannya.
Benar saja. Ketika aku berbalik, seseorang terlihat berlari-lari menuju arah kami. Ia berhenti ketika jaraknya terpisah satu meter denganku.
Mata biru safirnya tak begitu kentara di malam yang gelap ini, namun aku bisa menangkap ekspresinya. Ia memandang bingung ke arah kami berdua.
"Aku sudah memaafkanmu, Jared," ujar Clara tiba-tiba. "Baiklah, kurasa aku harus pulang. Daaah!"
Saat Clara berbalik, secara kilat Jared meraih lengannya. Membuatku dan Clara terkesiap melihat tingkahnya. Kenapa ia melakukannya? Tak rela melepaskan Clara? Lalu, kenapa ia bilang ia mencintaiku sebelumnya? Permainan apa lagi ini?
"Ehmb, sori. Apakah kau keberatan kalau aku memintamu segera menyingkirkan tanganmu dari lenganku?" ucap Clara.
Jared melepaskannya.
"Terima kasih, Clara," ucapnya sesekon kemudian. "Maaf, kalau sikapku menyakitimu."
"Seingatku, aku telah memaafkanmu," ucapnya.
Jared mengulurkan tangan kanannya.
"Kau
masih mau bersahabat denganku?"
Clara memandangku. Ia tampaknya mengerti akan arti anggukan kepalaku. Ia membalas jabat tangan itu.
"Kenapa tidak?"
Clara tersenyum. Jared tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. Ah, aku sedikit lega. Kukira Jared mempermainkan situasi ini lagi. Ups!
"Baiklah. Sampai jumpa besok di sekolah, Guys!" Clara segera berhambur menjauh dari tempat ini hingga hanya tersisa aku dan Jared.
"Jadi?" Jared menggenggam tanganku. Hangat.
Ia mulai memposisikan dirinya di hadapanku. Mata biru safirnya kembali memasuki dunia dalam mataku.
"Jadi ... apa?" tanyaku.
"Apakah kau masih tak mau menerima cintaku?"
Aku tak bergeming. Terlalu terpana dengan keseriusan yang terkandung dalam kedua matanya.
"Apakah masih ada alasan untukku tak menerimamu?" sahutku. Ia tersenyum, langsung memelukku.
"Aku mencintaimu," ucapnya.
"Aku sudah tahu," jawabku.
***
Clara memandangku. Ia tampaknya mengerti akan arti anggukan kepalaku. Ia membalas jabat tangan itu.
"Kenapa tidak?"
Clara tersenyum. Jared tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. Ah, aku sedikit lega. Kukira Jared mempermainkan situasi ini lagi. Ups!
"Baiklah. Sampai jumpa besok di sekolah, Guys!" Clara segera berhambur menjauh dari tempat ini hingga hanya tersisa aku dan Jared.
"Jadi?" Jared menggenggam tanganku. Hangat.
Ia mulai memposisikan dirinya di hadapanku. Mata biru safirnya kembali memasuki dunia dalam mataku.
"Jadi ... apa?" tanyaku.
"Apakah kau masih tak mau menerima cintaku?"
Aku tak bergeming. Terlalu terpana dengan keseriusan yang terkandung dalam kedua matanya.
"Apakah masih ada alasan untukku tak menerimamu?" sahutku. Ia tersenyum, langsung memelukku.
"Aku mencintaimu," ucapnya.
"Aku sudah tahu," jawabku.
***
Suasana
sudah tampak ramai ketika aku dan Jared sampai di halaman rumah megah itu.
Lampu di mana-mana. Manusia dengan gaun indah memenuhi halaman rumah. Ah,
rupanya teman Jared ini tipe yang sangat royal. Ia rela mengucurkan dana
berapa-pun agar segalanya tampil sempurna. Termasuk pesta ini.
"Kenapa kau masih mematung di sana? Tak ingin masuk bersamaku?" ucap Jared, membuyarkan pengamatanku.
"Oh, sori," ucapku.
Aku dan Jared mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Semua terasa asing bagiku, tapi asalkan ada Jared di sampingku, aku pasti akan baik-baik saja.
Tiba di acara tiup lilin dan pemotongan kue. Karena terlalu banyaknya undangan, akhirnya aku dan Jared hanya mampu hadir di barisan agak belakang.
Sesuatu menyita perhatianku ketika si pelaku ulang tahun menyerahkan potongan kue pertamanya. Ia menyerahkannya kepada Clara!
"Cinta itu unik, ya?" ujar Jared. "Aku yang memperkenalkan mereka."
"Oh, itu keren," komentarku datar.
Beberapa saat kemudian, aku dan Jared pun memberi ucapan selamat padanya.
"Kenapa kau masih mematung di sana? Tak ingin masuk bersamaku?" ucap Jared, membuyarkan pengamatanku.
"Oh, sori," ucapku.
Aku dan Jared mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Semua terasa asing bagiku, tapi asalkan ada Jared di sampingku, aku pasti akan baik-baik saja.
Tiba di acara tiup lilin dan pemotongan kue. Karena terlalu banyaknya undangan, akhirnya aku dan Jared hanya mampu hadir di barisan agak belakang.
Sesuatu menyita perhatianku ketika si pelaku ulang tahun menyerahkan potongan kue pertamanya. Ia menyerahkannya kepada Clara!
"Cinta itu unik, ya?" ujar Jared. "Aku yang memperkenalkan mereka."
"Oh, itu keren," komentarku datar.
Beberapa saat kemudian, aku dan Jared pun memberi ucapan selamat padanya.
Glenn.
"Apa kubilang?" ujar Clara. Ia mengerling padaku.
"Iya, iya, aku tahu," komentarku ramah. Aku tahu apa maksudnya. Pasti kata-katanya tempo hari yang 'aku akan dapat yang lebih baik' itu.
"Silakan berdansa, Kawan," ucap Glenn.
"Thanks," ucap Jared.
Alunan musik klasik telah memenuhi seluruh penjuru ruangan. Penerangan pun telah diatur sedemikian rupa hingga terkesan begitu romantis. Kulingkarkan lenganku pada leher Jared, dan ia meraih pinggangku. Dengan sedikit mendongak, dapat kulihat mata biru safirnya bersinar di bawah temaram lampu. Ia tersenyum, membuatku tersipu.
"Kau begitu cantik malam ini," pujinya.
"Kau baru menyadarinya?" sahutku.
"Ehmb," Jared mengernyit. "Kurasa ya."
"Ha~ha, thanks," ucapku sinis.
"Hanya bercanda, Cla," ujarnya cepat. "Aku mencintaimu."
Aku tersenyum. "Dan kau pun pasti tahu jelas apa yang kurasakan."
"Katakan."
"Kau bisa menebaknya."
"Aku ingin mendengarnya. Langsung dari bibirmu."
Aku tersipu kembali. Jujur saja, jantungku hampir melompat saking deg-degannya.
Kuhembuskan nafasku, berusaha bersikap serileks mungkin. Aku berjinjit sedikit, berusaha mendekat ke arah indera pendengarnya.
"Aku juga mencintaimu," bisikku.
Jared tersenyum. "Aku tahu."
***
Sebenarnya, cinta itu tak sesulit yang kita pikirkan. Hanya saja, terkadang manusia itu sendiri yang membuatnya menjadi sulit.
Memang cinta yang berakhir bahagia selamanya itu hanya omong kosong belaka. Mungkin kali ini kita bisa saja bahagia karena telah menemukan seseorang, namun siapa tahu suatu saat akan hadir badai yang dahsyat?
Tak ada yang tahu. Hidup tak selamanya mulus. Akan selalu ada tanjakan dan turunan, bahkan yang terjal sekalipun. Maka dari itu, nikmati saja apa yang ada, dan selalu berusaha sebaik mungkin dalam menjalani hidup ini.
Ah, berceramah seperti ini membuat perutku lapar. Haha, baiklah, kurasa cukup sekian kuceritakan kisah hidupku. Mungkin kita akan berjumpa lagi lain waktu.
Salam cinta!
~Classita~
Finished on Sunday, June 28th, 2014
10.37 WIB
at livingroom
Shinta Fury Afrilia
"Apa kubilang?" ujar Clara. Ia mengerling padaku.
"Iya, iya, aku tahu," komentarku ramah. Aku tahu apa maksudnya. Pasti kata-katanya tempo hari yang 'aku akan dapat yang lebih baik' itu.
"Silakan berdansa, Kawan," ucap Glenn.
"Thanks," ucap Jared.
Alunan musik klasik telah memenuhi seluruh penjuru ruangan. Penerangan pun telah diatur sedemikian rupa hingga terkesan begitu romantis. Kulingkarkan lenganku pada leher Jared, dan ia meraih pinggangku. Dengan sedikit mendongak, dapat kulihat mata biru safirnya bersinar di bawah temaram lampu. Ia tersenyum, membuatku tersipu.
"Kau begitu cantik malam ini," pujinya.
"Kau baru menyadarinya?" sahutku.
"Ehmb," Jared mengernyit. "Kurasa ya."
"Ha~ha, thanks," ucapku sinis.
"Hanya bercanda, Cla," ujarnya cepat. "Aku mencintaimu."
Aku tersenyum. "Dan kau pun pasti tahu jelas apa yang kurasakan."
"Katakan."
"Kau bisa menebaknya."
"Aku ingin mendengarnya. Langsung dari bibirmu."
Aku tersipu kembali. Jujur saja, jantungku hampir melompat saking deg-degannya.
Kuhembuskan nafasku, berusaha bersikap serileks mungkin. Aku berjinjit sedikit, berusaha mendekat ke arah indera pendengarnya.
"Aku juga mencintaimu," bisikku.
Jared tersenyum. "Aku tahu."
***
Sebenarnya, cinta itu tak sesulit yang kita pikirkan. Hanya saja, terkadang manusia itu sendiri yang membuatnya menjadi sulit.
Memang cinta yang berakhir bahagia selamanya itu hanya omong kosong belaka. Mungkin kali ini kita bisa saja bahagia karena telah menemukan seseorang, namun siapa tahu suatu saat akan hadir badai yang dahsyat?
Tak ada yang tahu. Hidup tak selamanya mulus. Akan selalu ada tanjakan dan turunan, bahkan yang terjal sekalipun. Maka dari itu, nikmati saja apa yang ada, dan selalu berusaha sebaik mungkin dalam menjalani hidup ini.
Ah, berceramah seperti ini membuat perutku lapar. Haha, baiklah, kurasa cukup sekian kuceritakan kisah hidupku. Mungkin kita akan berjumpa lagi lain waktu.
Salam cinta!
~Classita~
Finished on Sunday, June 28th, 2014
10.37 WIB
at livingroom
Shinta Fury Afrilia